TERBANG

Aku tidak yakin ini sore atau malam. Beberapa orang lainnya menyebutnya 'senja'. Sebuah dikotomi yang indah untuk sesuatu yang singkat, terjepit dua masa (sore dan malam) tetapi sangat monumental. Aku tahu, berciuman di bawah senja lebih cantik lagi. Semua orang menginginkannya ada dalam riwayat hidupnya sehingga kelak ia akan menceritakannya dengan bangga kepada cucunya ketika beranjak dewasa.

Tetapi, senja yang kulihat sekarang bukanlah senja yang diidolakan orang-orang. Berawan, dingin, dan berangin kencang. well, tentu saja. Karena aku berdiri di bibir jendela lantai dua puluh satu sebuah gedung pencakar langit di kotaku. Tidak ada siapa-siapa di gedung ini kecuali aku, malaikat, setan, dan Tuhan. Meski Tuhan tidak kelihatan, aku bisa merasakan kehadirannya.

Hidupku ini sebaiknya diakhiri saja. Sudah tidak ada gunanya melanjutkan hidup ini tanpa seseorang yang membuat hidupku pernah sempurna. Mata sayunya, bibirnya, langkah-langkahnya yang cepat, rambutnya yang selalu berkeringat, caranya mengatakan "selamat malam" di ujung gagang ponsel. Semua terekam begitu halus. Mengingatnya seakan aku sedang menghisap cerutu terbaik dan menghembuskannya dengan mata terpejam.



Sambil mengingat-ngingatnya, aku melompat dengan nafas tertahan. Tanganku menengadah seakan ingin memeluk bumi dan membawanya mati bersamaku. Aku merasakan angin menggelitik lubang telingaku seakan mengumpatiku dan kebodohanku.

"Pecundang!" Ya, aku memang pecundang.
"Moron!" Kadang.

Tubuhku menghentak bumi. Begitu dahsyatnya tetapi aku tidak mati. Pemadam kebakaran sudah siaga menyelamatkanku. Aku tidak jadi mati. Separuh kesal, separuh bersyukur. Dua perasaan yang sama-sama membuat ingin menjerit.

Kemudian seorang ibu-ibu paruh baya mendekatiku dengan iba.
"kenapa kamu melompat?" katanya memandang lurus ke arah mataku. Entahlah, mungkin dia sedang manatap jiwaku.
"Itu kan yang diinginkan semua orang, bu?" jawabku memahat senyum kecil ibarat lengkuas diberi gula. Hanya memandang segumpal awan berarak yang membentuk hutan palawija.
"Maksudmu?"

Aku menarik nafas sedalam mungkin.

"Ya, manusia melompat dan berdoa kepada Tuhan agar mereka memiliki sayap untuk terbang.
 Jika manusia tidak berdoa, maka mereka akan jatuh seperti batu.
 Mereka juga bertanya-tanya di saat perjalanan mereka jatuh : kenapa aku melompat? "

Ibu itu mendengarkan dengan jiwa.

"Tapi inilah saya, bu. Di sini.
Karena sepanjang hidup saya, hanya satu wanita yang dapat membuat saya merasa bisa terbang.
Seseorang di masa lalu yang memberi saya sepasang sayap dan pergi sebelum mengajari saya cara untuk terbang,"

Ibu itu menangis.

"Sekarang waktunya pulang nak," Kata ibu menggandeng tanganku, mengajakku terbang ke langit.
Ibu itu adalah ibuku. Ia meninggal tiga puluh dua tahun yang lalu, ketika usiaku sebelas bulan dua hari. Ia ada di mimpi-mimpiku meski ia tiada. Bahkan ia menangis melihat anaknya patah hati.

Kini, di samping kepalaku yang pecah berhamburan di tanah, ibuku mengajakku untuk terbang.
Seperti yang orang-orang inginkan.