NASIHAT DARI SEORANG TEMAN BERWAJAH URAKAN

Nasihat seorang teman berwajah urakan di dinding kamarku : "Bersosialisasi dengan teman itu perlu"
Bapakku adalah seorang yang pendiam. Pembawaannya sangat sederhana. Sepatu pantofel kerjanya yang sudah bolong ia sol di tukang sepatu dan kemudian ia memakainya kembali seperti biasa. Padahal ia seorang dosen senior yang sering mengisi seminar di sana-sini. Tapi ia tidak hanyut pada nikmat duniawi, ia tetap pendiam, seperti biasanya. Karena sahaja seperti itu, ia membuatku menaruh hormat pada tahta yang tinggi tanpa harus membuatku merasa takut.

Ketika kita sudah menaruh hormat kepada seseorang, kita akan memeram nasihat-nasihatnya yang jarang tapi berlian. Ia selalu menekankan, bahwa kita harus melihat apa yang dikatakan seseorang kepada kita, bukan siapa orang yang memberi kita nasihat tersebut. Ya, aku masih mengingatnya. Aku yakin nasihat semacam itu bisa kamu temukan di mana saja, di buku-buku kumpulan kalimat bijak atau status facebook seseorang. Tapi sekali lagi, kita harus melihat apa yang dikatakan seseorang, bukan siapa yang mengatakannya. 

Beberapa bulan terahir menjadi ruang yang sibuk bagiku. Aku mulai terperangkap pada banyak rasa ingin tahu dan perlu menyita waktuku untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tentang blog, tentang Tuhan, tentang kebenaran, tentang kebahagiaan, tentang tulisan, tentang rasa bijak. Semua. Waktu yang tersita seperti gembok yang merantaiku umpama catenaccio.  Aku lebih banyak mengurung diri dan bergumul dengan hujan tanda tanya, merenunginya, dan membawa tanda tanya-tanda tanya tersebut ke alam tidur.

Kebetulan aku punya seorang teman yang menumpang tinggal sementara di rumah kontrakanku yang sederhana . Ia akan mendaftar di kampusku tahun ini. Kalau ada yang bilang laki-laki selenge'an lebih seksi dari laki-laki romantis, mungkin dia bisa jadi bukti utama. Ya, dia orang yang sangat extruder, mudah bergaul, piawai bercakap, kampiun dalam membuat gadis tersipu, pemabuk, dengan beberapa piercing di telinga dan bibirnya, dan satu tahun lebih tua dariku. Mantannya sangat banyak, ia mendapatkan pacar seperti membuka kulit buah duku, begitu mudahnya.

Namanya Domba (bukan nama sebenarnya). Kamu akan melihat orang-orang seperti dia di kitab suci agama-agama dunia sebagai orang yang akan masuk neraka tanpa dihisab. Kamu tidak akan melihat orang-orang seperti dia memimpin sebuah partai politik atau organisasi agama, kamu juga tidak akan melihat dia berdiri di atas mimbar-mimbar suci dengan berbagai atribut kepercayaan.

Tapi, siapa sangka, dia adalah salah satu orang terbijak di dunia yang pernah aku kenal. Dia adalah orang yang sudah mengerti jalan hidupnya tanpa harus diserang penyakit-penyakit devosi berlebihan seperti yang terjadi padaku. Ia sanguinis sejati, dia diterima di berbagai lapisan masyarakat, dengan tampang yang sebegitu urakan. Aku pernah bertanya padanya "Bagaimana kamu bisa menikmati hidup sedemikian?" dia menjawab "Jangan pikirkan apa-apa, jalani saja, kalau masuk neraka, ya sudah". Sekali lagi, terdengar sangat klise, tetapi sangat relevan dengan apa yang dia lakukan. Dia tidak memikirkan apa-apa, dan dia diterima dimana-mana.

Saat dia hendak kembali ke surabaya, aku hanya mengatakan hati-hati. Teman-temanku yang lain juga sudah kembali ke kampung halamannya masing-masing. Aku masih terpekur di jogja, di depan meja kamar, di depan laptop, tempat 65% hidupku berjalan, seperti zombie. Aku biasa menempel post-it di dinding di depan meja kamar, semacam kertas kotak warna-warni tempat kita menuliskan jadwal dan catatan-catatan penting agar kita mudah ingat. Ketika aku tersandar di kursi belajar sambil membuka-buka 9gag.com , dengan penerangan redup lampu belajar, aku iseng mengecek apa yang aku tuliskan di post-it, barangkali aku melupakan sesuatu yang penting.

Mataku terpaku ke satu post-it yang tulisannya bukan tulisan tanganku. Tulisannya "Bersosialisasi dengan teman itu perlu". Seakan-akan seluruh dimensi tertuju ke post-it yang itu. Aku tahu itu pasti domba. Dan dia benar. Aku terlalu lama mengurung diri di kamar, seakan tidak peduli dengan dunia yang sesungguhnya di luaran sana, mulai jauh dari kehidupan sosial, mulai sangat intruder, mulai kelihatan seperti psikopat atau semacam zombie. Itu adalah cara menasihati paling elegan seumur hidup yang pernah aku terima.

Bapakku juga benar. Kita harus melihat apa yang dikatakan seseorang, bukan siapa yang mengatakannya. 


Bahkan, nasihat-nasihat bijak semacam itu aku dapatkan dari seorang pemabuk yang percaya Tuhan tapi tidak pernah sembahyang. Kita bisa mendapat nasihat bijak bukan hanya dari orang-orang yang suci, dari kiai, pastur, pendeta, bhikku, atau dari buku-buku religi. Kita bisa mendapatkannya dari siapa saja, bahkan dari seseorang bertampang urakan yang sering digambarkan orang suci agama-agama sebagai orang yang akan masuk neraka tanpa dihisab.

Kita pernah menderngar kisah tentang seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing kehausan di gurun gersang kan?

Mutiara di mulut anjing, bagaimanapun tetaplah mutiara.