FILOSOFI MENYEBERANG JALAN

Jawaban paling mudah dari pertanyaan
 "Kenapa kita menyeberang jalan?" 
  adalah = "Karena kita ingin sampai ke seberang jalan,"


Dalam hidup kita, kita sering melakukan proses menyeberang. Bahkan, inti kehidupan menurut paham agama-agama adalah dari tidak ada ke ada dan kembali menyeberang ke ketiadaan. Budha mengenal proses pemurnian, Islam mengenal kalimat "Innalillahi wa inna ilaihi rajiu'n".


Saat kita masih remaja, kita sering terlampau mudahnya menyeberang dari satu hati ke hati yang lain dan tanpa merasa bersalah menyebut semuanya cinta sejati.

Sebenarnya, agama dan asmara buta memiliki sebuah persamaan besar, yaitu sama-sama dogmatis. Bedanya, ketika kita terperangkap asmara buta, kita cenderung akan membenarkan semua yang dilakukan kekasih kita atas nama cinta. Kita sering menangis, sampai meraung-raung berhari-hari dan memaafkannya sedetik setelah dia bilang "Aku sayang kamu".  Dan dalam dogma agama, orang yang belum cukup ilmunya biasanya akan menyalahkan semua cara berdoa kecuali cara berdoa yang dia pakai. Bukankah begitu?



Menyeberang jalan raya, bagi sebagian orang adalah peristiwa yang sangat menegangkan, menantang, dan memacu adrenalin. Bagi sebagian orang, menyeberang jalan raya adalah menyeberang jalan raya, bukanlah sesuatu yang pantas dirayakan.

Begitu juga ketika kita sudah dewasa dan mampu bersama-sama berpikir dengan logika. Beberapa orang yang sudah dewasa, masih sering terlalu mudah menyeberang dari satu hati ke hati yang lain. Live must go on katanya. Iya, itu terdengar sangat bijak. Tetapi, bagi sebagian yang lain, berpindah dari  hati satu ke seberang jalan bukanlah sesuatu yang mudah.

Jadi, mari kita rubah pertanyaannya sekarang = "Bagaimana kita menyeberang jalan?" 


Saat kita berhasil menyeberangi jalanan yang besar dan ramai oleh mobil-mobil mahal dan motor-motor keren sok jago, harusnya kita mendapat piala, karena menyeberang jalan bukan perkara sederhana. Kita harus menyeberang bersama sosok bernama "Waspada" dan "Hati-hati". "Waspada" dan "Hati-hati" bukanlah teman yang ramah. Mereka teman yang selalu membuat kita berpikir negatif dan tidak lepas bergerak.

Kita akan selalu menyeberangi kehidupan dengan sayap yang tidak utuh.

Sering kita mengalami pertentangan devosi yang hebat. Dan ketika kita berusaha "berbicara" kepada Tuhan, kita ketakutan, tidak menemukannya sebagai ruang dan berlari kepada musik dan hal-hal duniawi lainnya. Padahal, ketika kita berlari dari ruang Tuhan kepada kamar sekulerisme, kita sedang mengalami proses pengosongan satu dimensi yang penting. Seperti menebar paku di depan jalanan yang sedang kita seberangi agar proses menyeberang kita semakin sulit.

Padahal, kita harus selalu menyeberang dari sisi yang buruk kepada ruang-ruang kebajikan.

Jadi, "Kapan saat yang paling tepat untuk menyeberang jalan?"


Sekarang. Now! no five minutes more...