SEBUAH HELM YANG JELEK

Di sebuah mall di suatu kesempatan, aku sempat melihat seorang ibu-ibu paruh baya tersandung di eskalator mall karena bingung membawa sebuah helm bermerk yang sangat bagus. Aku bisa memandang kilau helmnya dari jarak dua puluh meter. Mungkin si ibu ini me-lap helmnya setiap pagi dengan silicon dan lap bagus yang harganya tidak wajar. Ibu itu terjerembab dan hampir saja mencelakakan dirinya karena tangan kanannya lebih sibuk menyelamatkan helm dengan menggenggamnya helm itu lebih erat alih-alih memegangi pegangan eskalator yang sudah disediakan.

Beruntung suami ibu itu tangkas dan cekatan dalam menggenggam tangan kiri istrinya sehingga mengurangi risiko terjatuh dan kepalanya hancur termakan gigi-gigi eskalator seperti yang terjadi di beberapa film sadis.

Helmnya memang keren, futuristik dan berwarna magenta dengan motif garis-garis hitam. Pencuri helm akan selalu tergiur dengan desain helm yang sefantastis itu. Pantas saja si Ibu ini membawa-bawa helm ke dalam mall sampai-sampai hampir mengancam keselamatan jiwanya. Selain itu, tentu saja ibu ini telah mengurangi kenyamanan dirinya sendiri dalam berjalan-jalan di dalam mall yang megah (dari caranya berpenampilan pastilah ibu ini bukan orang kota)

Ketika aku sampai ke tempat parkir mall itu waktu mau pulang, aku baru tersadar betapa jeleknya helmku hingga aku yakin preman paling ganas satu penjuru kampung akan iba melihatku. Dan malah mungkin saja dia memberiku uang untuk makan siang sangking terharunya melihat helmku seburuk itu. Aku tahu aku telah melanggar barometer helm standar yang telah lelah-lelah dibuat pemerintah demi keselamatan kepalaku. Yang penting plastiknya cukup untuk melindungi tempurung kepalaku kalau-kalau aku lalai berkendara. Gantungan kaca helmnya kebingungan karena bergantung di satu gantungan, seperti anak tiri. Warna kacanya sudah buram dan menyesatkan. Bantalan telinganya merana, tinggal sebelah, hingga telingaku terasa menggaung karena terlalu banyak tertiup angin setiap mengendarai sepeda motor.



Tetapi, helm sejelek ini akan menghadiahkanku sebuah tenang yang tidak akan bisa dihadiahkan oleh helm yang sejuta kali lebih bagus dari helmku yang jelek. Aku tidak resah helmku akan dicuri orang jika menggantungnya di spion ketika motorku kuparkir dengan sentausa di terik tempat parkiran. Aku tidak akan resah helmku dimakan oleh serangga-serangga tidak bertanggung jawab, apalagi oleh koruptor tidak berdasi.

Ketenangan itu, ketidakresahan itu, lebih mahal harganya dari helm berlapis emas dengan berlian murni terpasang di setiap tiga centi badannya.

Sebenarnya, kekayaan, harta, keserbadaan, hanya akan mengaburkan kita dari realitas kehidupan yang sejati. Keserbaadaan hanyalah benih-benih keresahan yang nantinya tumbuh menjadi pohon penghalang dari pikiran yang jernih. Hanya akan membuat kita gelisah dan takut kehilangan hingga akan membahayakan jiwa kita. Seperti ibu yang aku temui di eskalator mall tadi.

Helm yang jelek, yang sederhana, seperti milikku, membuat kita bahagia dan dapat berjalan di mall dengan nyaman karena tidak harus memikul helm yang berat, tidak harus sampai terjeremembab di eskalator.

Tidakkah kita pikirkan bahwa banyak orang-orang paling berpengaruh di dunia mendapat inspirasi yang luar biasa, yang tidak lekang oleh globalisasi dan lagu-lagu Lady Gaga,  dalam keadaan yang sangat miskin.

Siapa yang berani menyangsikan kemiskinan materi Nabi Muhammad? Beliau adalah pedagang sukses, tapi memilih untuk hidup sederhana dan menahan segala hawa nafsunya.
Sidatta Gotama adalah pewaris tahta kerajaan, tetapi memilih menjadi pengembara untuk mencari kebenaran di usia 29 tahun. Yesus juga miskin. Karl Marx , penggerak ajaran marxis dan sosialis, adalah jurnalis yang hidup dengan uang yang sangat sedikit dan ditendang-tendang dari Jerman ke Paris ke Brussel, sampai ke London.

Di dalam kemiskinan dan keterbatasan, kalau kita mau, ketenangan sejati bisa kita dapatkan dengan mudah karena kita tidak perlu takut "helm yang bagus" kita dicuri orang. Kita tidak perlu berandai-andai memiliki 'helm' yang lebih bagus dan lebih bagus lagi.

'Helm yang jelek' memberi kita suatu esensi yang jauh lebih berharga, sekali lagi. Kalau kalian paham.