NILAI 'C' BUKANLAH NERAKA

Sejak awal, aku sudah percaya bahwa Indeks Prestasi (nilai kuliah) sama sekali tidak mencerminkan apa-apa, tidak mewakili kredibilitas, skill, apalagi 'nilai jual' seorang mahasiswa.
Hei, aku mengatakannya berkali-kali bahkan saat aku memulai kuliah dengan spektakuler di semester 1. Meraih IP terbaik satu jurusan, mendapat dua penghargaan beasiswa sekaligus, dan tetap merasa IP tidak merepresentasikan apa-apa.

Di awal semester dua, aku mendapat serangan kegalauan yang hebat. Bukan tentang cinta, kawan. Ini tidak jauh dari cinta tetapi jauh lebih esensial dan stimulatif : Tuhan. Di usia hampir 20 tahun, aku mulai mempertanyakan kebenaran dengan seluruh energiku. Hingga aku mendapat suatu pikiran bahwa terlalu serius kuliah itu buang-buang waktu. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kita lebih banyak belajar dari kehidupan kita dari pada di sekolah. Serius kuliah itu terasa terlalu mainstream, terasa penuh ambisi, dan membangun kegelisahan-kegelisahan baru yang tidak pernah ada habisnya.

Jadi, aku mulai merubah paradigma bahwa bahagia tidak harus dimulai dengan bersusah-susah dengan seluruh tenaga. Akan jauh lebih menyenangkan jika kita menikmati hidup tanpa harus diinterupsi kegelisahan yang dilahirkan ambisi-ambisi kehidupan perkara harta dan tahta.



Aku punya cita-cita yang lebih menyenangkan : pekerjaan yang membuatku punya waktu seharian malas-malasan di atas sofa sambil makan sereal sebanyak-banyaknya di depan televisi sambil mengganti-ganti channel dengan remote. Ah... damainya.

Tetapi, nilai 'C' pertamaku di perkuliahan ini terasa sangat buruk kalau kau mau tahu. Ya, di semester dua aku akhirnya mendapat nilai 'C'. Aku sudah menduga aku akan dapat nilai 'C' di semester dua karena ada degradasi ambisi besar-besaran seperti yang kuceritakan. Tetapi nilai C ini terasa sangat tidak adil. Aku mendapat nilai 'C' untuk mata kuliah Pengarah Acara 1. Kenapa tidak adil?

Biar kuberitahu,
Mata kuliah ini diampu oleh dosen yang sangat kawakan, sudah punya cucu, dan sangat kaku. Namanya Pak Prawoto. Dari sekitar 50 anak yang mengambil mata kuliah tersebut, setiap rabu yang datang selalu tidak pernah lebih dari pada 8 orang! Kamu tahu betapa seluruh mahasiswa merasa bosan dengan caranya mengajar. Dan demi Tuhan, aku selalu datang dan cuma absen dua kali! Sejatinya aku merasa jauh lebih bosan dari mereka yang selalu bolos. Aku selalu datang karena merasa ingin menghargai dosen senior ini. Aku selalu menjadi mahasiswa laskar pelangi pada perkuliahannya yang selalu cuma diisi 10% mahasiswa.

Yang aku tidak habis pikir, aku menghargainya hanya untuk mendapat nilai 'C'. Padahal, teman-teman lain yang hampir selalu bolos kecuali saat Ujian Akhir Semester malah mendapat nilai 'B'. Aku tidak mengharapkan sebuah keadilan, aku hanya merasa ini sangat aneh.

Dan sangat membuktikan betapa kuliah itu bukan apa-apa, tidak mencerminkan apa-apa, karena ini hanya model pendidikan primitif yang disajikan secara modern. Semua orang merasa akan lebih mudah mencari kerja jika dia kuliah. Bagiku itu tidak lebih dari ideologi fatalisme.

Aku tidak akan protes mendapat nilai 'C'. Tidak sama sekali. Karena dari awal aku sudah merasa akan mendapatkannya. Tapi kenapa harus di mata kuliah yang mana aku sangat menghargai dosen yang sangat membosankan itu? Please.

Mungkin ini cara Tuhan (atau energi semacam Tuhan) untuk memberiku petunjuk tentang eksistensinya. Bukankah kita selalu mengingat Tuhan ketika kita sedih dan kecewa?