TAPAKAN KAKIKU TERGUIDING MASA KECIL

Saat Aku kecil, Aku sangat bangga pada Bapakku. Bapakku seorang penulis, banyak judul buku dengan menempatkan nama beliau di sampul paling depan. Tidak jarang Bapakku memangkuku saat mengetik naskah bukunya. Bila Bapakku sedang buru-buru dikejar deadline, Aku menggeret kursi meja makan dan meletakkannya disamping Bapakku di depan komputer. Aku senang sekali melihat jemari Bapakku menari dengan lincah diatas keyboard komputer hingga berbunyi gemeretak. Mengukir setiap gemeretak itu menjadi kata-kata yang cantik, beruntai-untai dan berbingkai metafora. Beliau menyusun setiap hipograf menjadi kumpulan awan diatas gurun gobi. Menyejukkan setelah meneduhkan.

Karena Aku masih kecil, Aku gembira sekali melihat kecepatan mengetik Bapakku. Dengan jemari yang juga masih kecil-kecil, Aku tidak mungkinlah masuk sepuluh besar di indonesiatypingtest.com. Aku melihat keyboard dan tangan Bapakku, bukan rantai kata yang berukir-ukir di layar monitor hasil kopi dari sepak terjang pikiran dan paradigma beliau. Namanya juga anak kecil. Melihat hal-hal yang dianggap orang dewasa biasa menjadi suatu hal paling hebat dengan bantuan imajinasi. Berfantasi akan hal-hal yang tidak mungkin, membungkusnya lebih meriah dengan mainan sekardus yang selalu malas aku bereskan selesai membuat “film” mini dengan tokoh mainan-mainan itu. Yah, sepertti menggerak-gerakkan ksatria baja hitam dan power ranger untuk menghajar dinosaurus keluaran BANDAI yang bisa berubah menjadi robot.

Alangkah merasa kehilangannya dirimu atas masa kecil ketika mendapati dirimu dikaca dan bergumam, “hey, sudah waktunya bercukur”. Ketika melihat orang pacaran tanpa merasa itu lucu, ketika sudah tahu bahwa harry potter tidak benar-benar ada di atas sapu yang bisa terbang melainkan hanya berakting di ruangan penuh screen berwarna hijau. Kedewasaan itu datang menggantikan shift masa kecil yang sudah habis.

Anak kecil tidak tahu rasanya jadi orang dewasa, sedangkan orang dewasa sering tidak mau tahu fakta bahwa anak kecil tidak tahu rasanya jadi orang dewasa. Lingkaran setan yang tidak akan habis dibahas dalam satu judul artikel blog. Anak kecil dan orang dewasa juga merepresentasikan rasa rindu dengan cara yang berbeda. Rasa sakit karena rindu yang dirasakan juga dalam wujud jelma’an nyang berbeda pula.

Memang, anak kecil jaman sekarang sedikit kurang memang agak terpengaruh oleh siaran televisi dan lagu-lagu cinta yang beredar seperti panu di jempol kaki para petani. Masa penyanyi anak-anak memang sudah habis. Setali tiga uang dengan lagu untuk anak-anak. Bahkan acara idola cilik, yang terang-terangan memakai embel-embel “cilik” yang memasang penyanyi-penyanyi berusia “cilik” untuk menghibur arek-arek “cilik”, malah sengaja turut andil dalam mempopulerkan lagu-lagu cinta pada anak kecil. Turut andil meracuni generasi baru negeri ini.

Tak usah kagetlah kalau anak-anak TK sekarang sudah punya pacar. Sebagai orang broadcast yang pernah magang di TV anak, aku tahu benar tentang segmentasi dan rating mana mana saja yang digemari anak-anak. Anak-anak masih lebih gemar dengan hiburan yang benar-benar anak-anak. Jadi bullshit lah kalau bilang pasar untuk anak-anak lebih tereksekusi pada minat ke pacar-pacaran begitu. Kalaupun memang sedemikian, apakah lantas bijaksana jika hanya condong ke sudut profit belaka? Tidak. Tentu saja tidak.

TPI yang hingga kini singkatannya belum berubah, yaitu televisi pendidikan Indonesia, malah sekarang seperti kehilangan jati diri saja sih. Tidak ada unsure-unsur pendidikannya sama sekali. Malah mayoritas dihuni acara dangdut. Benar-benar merepresentasikan satu kalimat dialog Romeo di tulisan shakesphere, “what is in the name?”. Padahal simbolnya sudah berkali-kali ganti.

Memang TV itu punya fungsi control, yang artinya punya cukup pengaruh untuk menanamkan suatu paradigma pada masyarakat. Karena anak-anak gampang terpengaruh, jadilah generasi “sinetron” di Indonesia sejak hilangnya masa penyanyi cilik seperti agnes monica, trio bebek, Joshua, chikita meidi, dll. Sekarang mana ada?

Makanya, sebagai remaja yang punya cita-cita di dunia pertelevisian, kok hati saya itu seperti merasa tersindir untuk melakukan sesuatu melihat fenomena tersebut.