MASA KECIL YANG TEREDUKSI OLEH KETIRIAN TAKDIR


Ini tentang hal-hal sepele yang dahulu bukanlah sebuah hal yang terlalu kuperhitungkan sebagai hal yang sangat berharga. Juga tentang Bapakku sebelum aku umur tujuh tahun, sebelum beliau menikahi seorang lajang yang pada kemudian hari akan merenggut beberapa hal dari Aku, masa kecilku, masa remajaku, Kakakku, dan segala yang ingin Aku miliki, termasuk Bapakku sendiri.
Betul kata orang bijak zaman dahulu, kita baru akan mengerti betapa berharga yang kita miliki justru setelah kita kehilangannya. Dasar hikmah yang kujadikan acuan untuk film yang sempat aku dan dua kompatriotku buat (Neurotic-2009, 1st place STIKOM Indie movie High School Competition 2009). Kita biasanya tidak menganggap hal-hal sepele waktu kita memilikinya. Misalnya bernafas, pernah kita merasa bernafas itu sesuatu yang perlu kita syukuri? Manusia memang telah dibutakan oleh kebutaan itu sendiri. Mata manusia telah tertutup oleh gelimang hidup yang tak terbantahkan oleh zaman.
Tergelitik hatiku memikirkannya, dibawah atap kemurungan. Yang mendera-dera. Kenangan masa kecil bersama Bapakku yang dulu, yang punya waktu untukku dan satu-satunya kakakku, yang akan merajutkan detik dan menit menjadi anyaman cahaya yang membias, berwarna-warni, dan kusematkan pada hatiku, kuletakkan diatas nampan perunggu dengan bejana emas berukir genggaman tangan. Saat gemintang dan bulan hilang diusir oleh matahari pagi, tak lantas gundahku hilang memikirkan bapakku yang menghilang.
KOPI DAN BAGAIMANA BAPAKKU MENYERUPUTNYA
Waktu aku masih kecil, belum genap umurku untuk masuk sekolah dasar. Hingga Aku seusia taman kanak-kanak mungkin. Yah, saat itu Aku sering minta pangku ayahku saat beliau membaca Koran di teras rumah pada pagi hari, atau saat gerimis. Bapakku sering memangkuku sambil baca Koran. Dan tidak lengkap tanpa secangkir kopi yang tersedu di sampingnya, diatas meja kaca warna hitam. Tak bisa terlupa bagaimana Bapakku yang diam memangkuku sambil membaca Koran dan menyeruput kopi. Beliau menyeruput kopi perlahan sampai bunyi di bibir cangkir. Sejak saat itu, ada hubungan emosional antara aku dan kopi.
HARD TO SAY I’M SORRY
Sebelum pernikahan Bapakku saat umurku tujuh tahun, penghuni rumah mungil di taman pondok jati itu ada lima orang, Aku, Kakakku, Bapakku, Amah (adik bapakku), dan uweng (adik bapakku juga). Setiap minggu Bapakku mengajakku jalan-jalan naik mobil kijang atau sedan mazda abu-abu. Kdang juga timor warna hijau. Bersama Kakak perempuanku tentu saja. Kemana saja, pokoknya jalan-jalan. Entah Timezone, monkasel, Taman remaja, mandi bola, atau bahkan Cuma keliling perumahan. Kalau tidak pasti Aku dibelikan mainan. Seperti volcom dan ksatria baja hitam. Juga kakakku dengan boneka trining Kelly-nya yang bisa pipis jika perutnya dipencet. Biasanya kami keluar hingga larut, hingga bintang-bintang dipimpin bulan menjajah angkasa. Aku biasa tidur di jok belakang, meluruskan kaki dan merebahkan kepala dipangkuan kakakku, dan bapakku sering menyetel lagu “Hard to say im sorry” dari Chicago yang mendayu-dayu mengantarkanku pada lelap hingga pagar hijau rumah kami terlihat yang artinya Aku harus turun dari mobil dan gosok gigi sebelum lelap di kasurku yang empuk. Hari mingguku dan kakakku telah direnggut saat Bapakku menikah lagi. Direnggut habis.
USAPAN TANGANNYA DIRAMBUTKU
Jujur saja, sulit sekali menahan air mata untuk tidak jatuh bersama sesak dada ini saat mengingat yang ini. Selalu begitu. Walau Aku berkali-kali menulisnya. Berkali-kali menangisinya, seperti air mataku tak pernah jemu. Seumur hidup, Bapakku tak pernah menunjukkan kasih sayangnya secara fisik, Bapakku tak pernah memelukku. Mungkin itu seingatku atau setelah pernikahan Bapakku pada 2000. Ungkapan sayangnya yang paling aku ingat adalah kala Bapakku meletakkan telapak tangan dan kelima jemarinya di rambutku dan mengusap-ngusapnya hingga wajahku cemberut. Hanya itu. Walau kurang elok memang jika aku menyematkan kata “hanya” pada kalimat itu. Karena hal sepele seperti itu dapat membuatku meratapi hari beberapa saat kemudian. Saat tirus wajahnya tak kulihat setiap hari. Mungkin saat aku kecil, aku lebih dekat dengan tanteku. Tapi saat tumbuh besar, jati diri ini seperti menuntut akan bapakku yang lebih mengerti.