LEBARAN TANPA KETUPAT DAN OPOR AYAM

Jangan artikan judul yang kugurat diatas secara tekstual. Jika ingin ketupat dan opor ayam, tentu saja Aku bisa beli di jalan gading fajar yang banyak orang jadi penjual dadakan. Yang kumaksud, inilah lebaran pertamaku tanpa keluarga. Bukan karena keluargaku sudah habis kena tsunami, tapi aku memang sedang tidak berkapasitas di rumah lagi. Yah, semenjak keluar dari rumah tanggal 1 januari lalu, memang apa yang kualami seribu kali lebih banyak dan setrilyun kali lebih berharga.

Namun tak terpungkiri lah, keluarga itu tetaplah harta yang harganya tak terpengaruh harga dolar dan fluktuasi harga minyak.
Jika biasanya lebaran aku berkutat dengan baju rapih berkerah licin, lebaran kali ini memang lebih jenuh. Walau juga tidak terpitisi membosankan.

Bangun pagi, kemudian berlari-lari kecil ke lapangan basket lantas memantul-mantulkan bola ke tanah sejurus melemparnya ke ring. Yang Aku sebal memang lapangan basket disini banyak ditanami tumbuhan, sehingga jika bola yang kulempar terbentur ring dan melambung ke samping, bolanya akan terperangkap diantara tumbuhan. Aku harus mengambilnya walau gatal smua rasanya.

Jika biasanya lebaran Aku berkutat dengan kamuflasi senyum yang dipasang paksa, sekarang akumalah memasang dahi berkerut-kerut memainkan rubik yang memang lagi tren. Karena baru belajar, yah Aku belajar dulu rubik dasar, 3 kali 3. Walau rubik level dasar, memang dasar Akunya tidak handal ya mau diperbuat apa. Sepertinya memang lebih mudah menghapus seluruh warna yang ada di permukaan rubik hingga polos lalu mewarnainya kembali secara manual. Atau memeretelinya dan memasangnya kembali.

Jika takut dihantui rasa curang, lakukan saja di depan kaca sambil memasang muka tanpa dosa. Akan tertanam sugesti jika yang kau lakukan bukan hal curang. Masalahnya, sekolah tidak membekaliku ilmu bagaimana membongkar rubik tanpa harus bersedih karena tak dapat merangkainya kembali.

Jika biasanya lebaran Aku berkutat dengan ketupat dan opor ayam, pagi ini Aku memasak mi instan jam Sembilan pagi, setelah bermain bola basket. Sempat terharu waktu satu teman mengirim sms “opor ayam, mau? :) “ . Untung saja Aku masih punya hiburan sejati, yang menghapus gundahku tanpa pamrih. Yaitu pena dan kertas. Aku pernah katakan, kawan, pena dan kertas takkan berhianat ketika kau mengadu. Kertas dan pena selalu menjadi sahabat setia yang menenmaniku memahat ribuan puisi, mengejewantahkan jutaan gurindam dan menertawakan kesedihan dengannya. Ia juga tak sungkan mendukungku saat aku ingin sekali mengolok-olok tragedi.

Yang aku rindukan, adalah adik-adikku yang berebut pangku saat bertamu ke rumah saudara. Beby dan Raihan selalu tertancap gambarnya di meja hatiku. Mereka yang selalu dicubit pipinya saat dipamerkan ke saudara-saudara. Biarlah angin malam memainkan alunan nada alam. Yang lepas dari c hingga a. Angin malam punya nadanya sendiri, tak perlulah guru musik mengajarinya. Justru guru-guru musik yang mencuri inspirasi dari hembusannya. Tak tertandingkan damai yang menggelitik oleh angin malam.

Apalagi angin malam punya kawan, yaitu bintang dan bulan. Yang angin malam kenalkan padaku pada tanggal enam belas. Mereka kawan yang setia, kecuali ketika ahir bulan, karena bulan selalu berhibernasi sehari lantas muncul sedikit-sedikit. Juga saat awan mendung, bintang sering bersembunyi. Mungkin takut hujan akan memadamkan sinarnya yang berpendar-pendar.

Lebaran inipiun menjadi tamparan telak untukku. Mengingatkanku pada Almarhumah ibuku. Mungkin beliau disana marah padaku karena sholatku masih sering bolong-bolong. Apalagi Aku kadang sering lupa mendoakan beliau agar diberi ketenangan disana. Yang kulakukan sampai saat ini untuk beliau masih sebatas cita-cita. Cita-cita untuk mengunjungi makam beliau di pulau bangka sana.

Sesuatu yang tak pernah terwujud saat aku masih bergumul dengan ibu tiriku. Ibu tiri yang membawa satu-satunya foto ibu kandungku yang kumiliki. Waktu aku memintanya dia bersikeras bahwa aku memiliki yang lain. Padahal hanya itu. Biarlah.

Televisi sudah mendeskripsikan ibu tiri lebih baik dari aku. Lihatlah televise. Yang ditayangkan tidak selalu salah, tidak selalu hiperbola. Kadang yang kamu lihat itu realita yang di-audio visualkan menjadi sebuah film atau sinetron.

Tapi intinya, hari lebaran itu musti penuh dengan yang namanya maaf. Walau tanpa permintaan maaf, hati kita harus kembali suci, bukan hanya dengan minta maaf, tapi juga memaafkan.