SURAT UNTUK DEWI 'DEE' LESTARI

Untuk Blog Contest mizan.com

Dear Mbak Dee,

Sejatinya saya bingung mau bilang apa.

Pertama, karena bila ditakar-takar saya nggak punya potongan ngegombal sama sekali. Kata-kata saya sesederhana penampilan saya, sesuatu yang kadang membuat saya nggak pede jalan-jalan di kebun binatang. Kata-kata saya tidak biasa diberdayakan untuk menggetarkan hati seseorang, apalagi hati penulis novel sebesar mbak dee. Salah satu penulis novel yang berhasil membuat saya ditabok guru matematika waktu SMK. Gara-gara ketahuan asyik baca novel 'SUPERNOVA : PETIR' saat guru saya nyerocos tentang interval, matriks, dan persamaan kuadrat.

Kedua, bila ditimang-timang, saya lebih kepingin bikin surat buat Keenan sih sebenernya. Hehehe... Keenan memiliki struktur hidup yang saya rindukan : punya Ibu yang hebat, yang menginspirasi orang-orang. Ibu saya sih nggak kalah hebat juga loh mbak. Beliau sangat menginspirasi. Meski Tuhan mengambilnya di sebelas bulan umur saya, sembilan belas tahun yang lalu. Kata orang, orang baik biasanya diambil duluan kan?



Kesamaan saya dengan Keenan mungkin hanya satu, mbak Dee : sama-sama anak seorang penulis. Ayah saya juga penulis. Tapi beliau lebih banyak diam dan terpekur di depan komputernya sambil merangkum dunia. Keenan Avalokita Kirana dan Athisa Prajna Tiara, mereka seperti mewakili impian-impian kecil saya (salah satunya nampang di majalah Ayahbunda). Mereka mengenal ibu mereka yang hebat.

Mbak Dee suka kopi ya? Saya penggemar berat kopi, dan bukunya mbak Dee yang Filkop itu membuat saya sadar bahwa makna minum kopi tidak sesederhana menenggak air hitam dan gula. Sayang sekali saya nggak punya Ibu yang membuatkan kopi pagi-pagi kayak orang-orang. Meski, setiap membuat kopi sendiri, saya melarutkan berbagai macam kerinduan bersama dua sendok kopi dan tiga sendok gula, untuk ibu saya. Kayaknya lucu ya saya merindukan orang yang belum saya kenal? Dan saya bersumpah akan menulis banyak hal tentang beliau.

Suatu saat kita harus bertemu mbak. Lebih dari sekedar antara penulis dan pembacanya, tapi juga sebagai sesama penggemar kopi.

Saya sering minum kopi bareng kakak perempuan saya. Dia cantik dan mirip seseorang di foto usang yang ayah saya bilang itu ibu.

Kalau mbak Dee memilih surat saya menang dan menghadiahi saya novel-novel itu, saya akan memberikannya ke perempuan berwajah ibu : kakak perempuan saya. Karena dia juga penggemar novel-novelnya mbak dee sama seperti saya. Beberapa kali kami membaca novel mbak Dee bareng-bareng (romantisme keluarga yang belum saya rasakan bersama ibu).


Regard,


Dari : Dipa Utomo
Untuk : Mizan.com