SURAT MUSIM GERIMIS

"Titip Dipa dan Refi ya dek," begitu kalimat terakhir ibuku kepadamu sebelum ibuku terbang ke dimensi baka sembilan belas tahun yang lalu. Hikayat-hikayatmu tentang Ibuku membuatku merasa mengenalnya sejak dapat berbicara. Kamu memasakkanku masakan-masakan yang kusukai dengan porsi yang aku minta. Kamu menasehatiku dengan sempurna. Membersihkan kesalahan-kesalahanku dengan nasihat selembut sutra. Kamu memberi minum kucing-kucing yang menjadi sahabatku agar aku tetap riang gembira.

Masa mudamu kamu pasung demi merumatku hingga jadi manusia dewasa yang dapat berlari dengan kedua kaki. Kamu menuangkan es sirup frambozen ke dalam gelas bersama kasih sayang yang tak tergadai delapan ton permata.

Kamu membuatku bersahabat baik dengan renungan-renungan ketika jari-jari kaki umurku mulai menginjak fase dewasa. Kamu satu-satunya orang yang kutangisi saat kamu dua puluh menit keluar rumah untuk membeli lauk di umurku yang belum genap enam tahun.

Kamu menyuapkan ketulusan-ketulusan bersama makan siang yang kau masak sendiri. Dan rasanya benar-benar lezat. Selamanya akan menjadi makanan faforitku. Kamu mengajariku mengeja aksara-aksara Al-Quran dan penjumlahan.



Kamu adalah pertanyaan "Bagaimana kehidupanmu?"  "Sudah makan hari ini?" dan "sudah sembahyang?" di saat aku membutuhkan pelita untuk menembus labirin kehidupan yang gelap. Kala aku dirantai dengan cemeti sepi yang berduri kesendirian.

Kamu secangkir kopi yang ada di musim hujan. Yang membuat bulan desember menjadi sehangat sebuah selimut,

kamu adalah jalan keluar dari sebuah petunjuk peta buta yang menyesatkan. Kamu membuatkanku kaus kaki rajut yang kamu sulam dengan jari-jarimu sendiri. Jari-jari yang memandikanku dan membersihkan pantatku habis buang hajat.

Kamu mencucikan piring-piring yang kupakai makan dan piala-piala yang kupakai minum tanpa merasa menjadi pembantu.

Aku ingin kembali pada hidupku di usia lima atau enam tahun. Saat itu aku tidak sungkan untuk memelukmu dan mengatakan bahwa aku sayang padamu.

Aku lebih baik memilih tidak pernah menjadi dewasa jika kedewasaan menghalangiku untuk berterima kasih padamu.

Amah, segala air mataku yang kau hangatkan, yang telah menjadi puisi-puisi, dan segala bumi yang bisa aku beli, tak akan cukup untuk berterima kasih kepadamu. Maaf.

Kapan kamu akan membuatkanku kue dadar lagi?

(Amah : bahasa arab  dari 'tante', adik bapakku yang mengasuhku sejak usiaku enam bulan karena ibuku harus dirawat di ICU karena Leukemia-nya sudah mencapai stadium akhir)