JURNAL 19

16 Oktober 2011 menjadi 16 Oktober kesembilan belas sepanjang sejarah hidupku. Aku juga menulis sedikit coretan absurd saat umurku 18 di blog. Mungkin, umur 19 menjadi awal yang lebih baru lagi dari pada setahun sebelumnya. Di tahun ini, aku lebih mensyukuri datangnya hujan karena aku sempat merasakan kemarau yang sangat panjang di Yogya. Oh ya, Aku sampai lupa memberi tahu kalian bahwa tahun ini, dimana umurku secara legal-formal mencapai angka 19, adalah tahun pertama Aku tinggal di kota Yogya. Kota yang bahkan udaranya bersikap ramah. Pun begitu rindang-rindang pohonnya.

Aku tidak akan menghubung-hubungkan angka 19 dengan primbon, tarot, atau segala bentuk ramalan lainnya. Aku bukan orang yang mempercayai hal-hal metafisis semacam itu. Meskipun terdengar kolot, tapi aku hanya mempercayai hal-hal yang dapat dikaji secara empiris dan dapat dijelaskan secara nominal. Aku berkuliah di Institut Seni tapi Aku tidak percaya hal-hal metafisis. Ya, aku tau jika hal itu terdengar sangat kontradiktif di telinga kalian.

Diumur ini, intensitasku bermain rubik agak terkurangi. Well, Aku memang harusnya malu berhenti disaat average 3x3-ku masih 24 detik. Rubik masih kalah prioritas oleh buku-buku belakangan. Meski koleksi rubikku memiliki tahta yang manis di atas rak buku. Meledang gagah umpama barang museum saja.

Umur 19 dalam hidupku ditandai dengan gemuruh. Aku mulai belajar memisahkan hal-hal yang privat dan hal-hal yang publik. Selepas siapa yang mengajariku, tapi aku menikmati perubahan itu. Ahir-ahir ini aku sering menikmati kesendirian. Melepas penat dengan berkeliaran menggunakan sepeda motorku. Ke mana saja, asalkan jalan. Karena di jalanan, aku menemukan kesendirian yang seimbang. Meski di tengah jalan Aku tidak mungkin memejamkan mata.



Aku juga bangga dengan prestasiku tidak merokok dan tidak minum alkohol di penghujung umur kepala satu. Mungkin di kalangan seniman, aku tampak seperti "orang tersesat", karena bahkan kebanyakan seniman merasa asap rokok adalah buah-buah inspirasi. bagi Mereka, merokok menonjolkan sisi-sisi jantan dalam diri mereka sehingga kontrasisme karakter Mereka dapat terpancar secara lebih efektif. Pun begitu dengan alkohol. Meski jika mereka memberi ruang sedikit saja pada renungan-renungan, Mereka hanya melakukan hal-hal yang akan mereka sesali di usia 59, atau 60. Itu urusan Mereka, tentu saja. Aku hanya memiliki hak sebatas tidak mengaplikasikan hal-hal yang kuanggap tidak berfaedah di dalam diriku sendiri. Bukan pada diri orang lain dan pada menit-menit mereka.

Aku sempat terjebak dialog yang lucu :


‎-Seseorang says : "Ini ciyu," *nyodorin bir murahan *
-Aku : "Sori, Aku g minum"
-Dia bilang lagi : "ini rokok"
-Aku : "Sori aku g ngerokok"
-Dia : "Ah cupu banget. Jadi laki-laki kok cupu,"
-Aku : "Masnya yang baik, nantinya, surga akan dipenuhi laki-laki cupu sepertiku,"
-DIa : ...... *speechless*

Entahlah. Kau jangan pernah takut menyampaikan hal-hal baik kepada orang-orang bertato dan bertindik. Sesungguhnya di dalam hati setiap manusia tersimpan bibit kebaikan. Kita hanya tinggal menyentuh lagi sedikit saja sisi baik itu. Jangan takut dipukuli oleh mereka. Jika Kau mati karena mengingatkan dengan halus, maka itu kesempatanmu untuk mati di jalan Tuhan. Dan Tuhan sudah menjanjikan dalam firman-frimannya. Dalam agama apapun, Aku yakin memiliki inti yang sama = mengajak kepada kebaikan.

Di usia 19, Aku mulai menaikkan kain di atas mata kakiku karena perintah Tuhan. Bukan sok religius, tapi begitulah kitab agamaku menghaturkan dengan sederhana. Diskusi-diskusi panjang dengan Jibril, kawan kontrakanku, menghasilkan banyak hal. Aku selalu mengagumi kesederhanaannya. Padahal dibalik itu semua, Ia menyimpan berjuta-juta cara berpikir yang hebat dan sarat hakiki. Kalian mungkin belum bisa mengerti. Aku tau, kenikmatan yang ditawarkan dunia, lewat puntung-puntung rokok dan tetes-tetes alkohol, sangat jelas di depan mata kalian, di lidah kalian, di kerongkongan kalian, di hidung kalian.

Tidak seperti surga yang semu. Yang hanya ada di kalimat-kalimat Tuhan, pencipta kita semua, pencipta pohon sawo di depan dekanat, dan pencipta awan mendung pagi tadi.

Meski aku akui, aku berhenti merokok karena satu orang yang sangat kucintai mengatakan hal itu tidak baik. Begitu saja. Begitu saja kata-katanya. Sederhana. Aku sudah membuktikan, bahwa cinta, jika diperlakukan dengan baik, pasti akan berguna, misalnya sebagai pengontrol perilaku. Cinta, dapat memaksa kita melakukan hal-hal baik bila dipergunakan secara bijaksana, secara sejati, dan esensional. Aku tidak akan mengatakan testosteron dan estrogen (hormon nafsu) adalah cinta. Seperti ketika aku mengatakan bahwa cinta pada pandangan pertama adalah sebuah kebohongan. Karena hal itu semu oleh nafsu semata.

Di usia 19, aku lebih banyak berdoa tentang masa depan. Timbul macam-macam pertanyaan umpama "saat aku sudah sarjana nanti, mau jadi apa aku?" , atau, "bagaimana cara aku dapat memilikinya lagi di saat yang tepat?". Atau pertanyaan-pertanyaan futuristik lainnya.

Aku mencintai senja. Mereka memberiku petuah-petuah hebat. Meski pun mereka membuatku mencintai hal lain = kesendirian.