YOGYAKARTA ADALAH MUARA MADUKU

Saat Aku melewati komplek pendidikan Taman siswa di Jl. Taman siswa Yogyakarta sepulang dari malioboro, seketika Aku bagai terlempar ke masa-masa dimana Ibuku masih belia. Masih malu-malu membawa buku-buku kuliah dan tersenyum-senyum merona karena Bapakku melambai-lambai dari sebrang jalan.  Ibuku, adalah sarjana dari Taman siswa, sebelum meninggal saat umurku masih sebelas bulan. Bapakku, sarjana kampus biru alias UGM yang menikahinya di semester-semester akhir.

Aku hanya memiliki referensi dari hikayat-hikayat saksi hidup perkara pertemuan Mereka. meski tidak banyak, tapi hal tersebut sangat merangsang dopamin di tubuhku untuk melayang ke dunia dongeng. Pendopo yang tampak sangat kuno itu, lorong-lorong itu, angkringan di pinggir-pinggir jalan itu, toko-toko tua dengan penjual yang tua dan piaraannya yang juga tua itu, semua di jalan ini, macam sekam memoar yang menelisik jantungku.

Di sini, di tempat ini, yang kulihat dengan kedua mataku sendiri ini, dulunya almarhumah Ibuku juga melihatnya, merasakannya, dan bahkan mungkin beliau membeli makan di angkringan-angkringan yang remang cahaya pendar kendhilnya itu. Di sana, lorong-lorong komplek taman siswa, di satu masa yang lalu Ibuku mendiskusikan mata kuliah trigonometri bersama kawan-kawannya di sana. Bercengkrama dan menyumpahi pemerintah, atau membicarakan pria-pria tampan dan pantatnya yang rata. Sungguh bayangan-bayangan astral seperti itu secara ajaib merampas kesadaranku dan menit-menitku. Hingga Aku meminggirkan sepeda motor untuk sejenak mengamati.


Ibuku orang yang luar biasa. Beliau bertubuh kecil sepertiku, tapi memiliki motifasi yang semerah bara api. Ibuku anak orang terpandang di Bangka. Atok (kakek)-ku adalah kepala dinas pendidikan di daerahnya kala itu, konglomerat pemilik kebun karet dan lada yang luasnya bukan buatan, tak dapat dipeluk pandangan mata telanjang. Atok dan Nenekku berhaji hampir setiap tahun, membagi zam-zam untuk penduduk kampung yang miskin-miskin. Tapi, Ibuku tidak pernah sombong dan hidup sangat bersahaja di kota pelajar. Ia tak pernah bangga jadi anak orang terpandang, tapi lebih senang terpandang atas keringat dan lelah otaknya sendiri. Bahkan, teman-teman beliau banyak yang tidak menyangka perkara kebenaran strata sosial Ibuku.

Bapakku yang melarat, yang Bapaknya kawin lagi ketika Ibunya sekarat, merupakan mahasiswa unggul dan produktif di Universitas Gadjah Mada. Ia adalah role model yang kupajang secara rahasia dan diam-diam. Beliau tidak akan pernah menggenggam perihal betapa Aku sangat mengaguminya. Meski sedikit ruam hatiku mengatakan Bapakku tidak becus mengahadapi Ibu tiriku, atau selangkangannya, entahlah. 

Bapakku sangat bersahaja sampai tua, tidak terbawa suasana ketika strata ekonominya mulai terangkat setelah menjadi dosen dan pejabat salah satu komisi independen propinsi. Juga seleranya perkara kesederhanaan masih terpegang teguh meski menikahi wanita semi hedonis yang gaya hidupnya visualsentris, yang menggemakan kesederhanaan tapi mengimplementasikan hedonisme dari cara berpakiannya, kesombongannya, dan diksi-diksinya.

Ibuku, memang orang hebat. Ia seteguh karang. Takkan mampu badai menghempasnya. Bergeming pun tidak. Ibuku tidak meratap-ratap dan putus asa ketika tahu dokter memfonis umurnya tinggal sekitar tiga bulan gara-gara penyakit tengik bernama leukemia. Awalnya, Bapakku, dan sanak saudara lain sekuat cangkang menutupi hal itu dari Ibuku. Tapi, Ibuku orang yang bernalar dan berinsting tajam. Ia tahu ada yang disembunyikan dan Beliau berkata tidak senang ada suatu hal tentang dirinya sendiri yang Ia tidkak boleh tahu. 

Ketika mendapat informasi pahit itu, Ibuku tak lantas patah arang, tidak sama sekali. Ia hanya bergumam ingin pulang dan dikubur di tanah kelahirannya di Bangka. Umurku saat itu masih delapan bulan. Lunglai di atas gendongan Tante Susun, adik Bapakku.

Ibuku meninggal di usia yang sangat belia. Tak sampai dua puluh tujuh. Bagiku, Ibuku umpama paragraf-paragaraf yang hilang. Ia adalah nama yang abadi dan Ia memiliki ruang tersendiri di hatiku. Ia adalah nada-nada yang diungkap semesta dengan sejuta keindahan, api terbara yang berkobar penuh semangat, kembang terindah diantara seribu kunang-kunang, bagian dari bait-bait sajakku yang kusemat pada dadaku, dan dada detik-detikku. Ia adalah diksi yang tak pernah absen dari doaku. 

Yogyakarta ibarat muara madu. Bapakku yang berjuang membayar kuliah lewat tulisan dan Ibuku anak konglomerat yang lakunya sederhana, bertemu di kota ini, yang udaranya lebih wangi dari toko-toko sepatu di mall-mall kota besar. 

Sedangkan Aku adalah buah cinta dari muara madu. Tempat ini, Yogyakarta, sangat historikal dan nostalgis untuk hidupku yang ibarat tas kecampang. Miskin dan serba kesusahan namun menampung ribuan kisah untuk dikenang, untuk dibiknkan puisi, atau pesan-pesan kecil untuk bebintang :

"Bintang-bintang, apakah dulu wajah Ibuku terlihat bahagia ketika Bapakku membuatkannya puisi-puisi untuk dibawa ke peraduan?"

"Apakah Ibuku membaca puisi-puisinya?"

"Apakah Bapakku menulis tentang rencana-rencananya memberi anak Mereka dengan namaku di surat-suratnya?"

Bintang-bintang itu hanya konstan di tempatnya. Enggan terlihat bergerak. Bagai mahasiswa lagi ospek. Tapi kedipan cahaya Mereka tak bisa berbohong lagi. Mereka pilu memandangku. Aku tak suka dikasihani, Aku akan menjadi seperti Ibuku, yang bahkan gagah menghadapi datangnya kematian.

Sekarang Aku di sini, di Yogyakarta, saksi bisu ketabahan Ibuku dan senyumnya kepada rembulan. Dan kepada bintang-bintang yang termetaforakan oleh sajak-sajak Bapakku.

Di sini, Aku bernaung di institut seni terbesar, tertua, terlengkap dan terbaik se asia tenggara, ISI Yogyakarta. Dan Aku ingin bertanya lebih banyak lagi kepada semesta. Tentang puisi-puisi Bapakku di masa lalu.