TEPAT DUA PULUH TAHUN LALU, SEORANG WANITA GAGAH MELAWAN KANKER HINGGA UJUNG WAKTU

"And the tears comes streaming down your face...
when you lose something you can't replace...
when love someone but it goes to waste...
could it be worse?"
(Cold Play - Fix You)

Entah kenapa sejak pagi perasaanku sangat tidak enak. Dunia terasa seperti lorong sempit dengan lampu-lampu redup yang sekarat. Pagi tadi aku bangun, membuka mata, dan tiba-tiba saja membenci semua hal.  Siang ini pun, aku celingukan tak tentu arah seperti kera jantan yang baru saja menduda. Hanya karena bingung hendak makan siang di mana, aku berputar-putar jogja hingga 30 kilo jauhnya. Ujung-ujungnya, aku makan di warung ayam kremes yang berjarak sepuluh meter dari kontrakan.

Sangking jauh dan lamanya aku dipanggang rabu membara ini, tenggorokanku kekeringan, aku berhenti di pinggir jalan untuk memesan es kelapa muda. Aih, betapa irinya aku melihat satu keluarga sederhana, seorang bapak bercelanan cekak, ibu paruh baya, dan dua anak. Kakaknya yang laki-laki berseragam SD, adik perempuannya dengan mata bulat minum es kelapa muda dengan berantakan. Suatu konsep yang tidak pernah aku rasakan. Dalam hati, aku merutuki diriku sendiri karena terbersit iri yang akbarnya bukan dua.

Karena aku bermaksud membeli laptop, hari ini pun aku keliling-keliling toko komputer untuk membandingkan harga. Sekali lagi, aku bertemu satu keluarga sederhana. Seorang remaja laki-laki, dengan ibu bapaknya. Pakaian mereka sederhana saja. Mereka pun ke toko komputer ini naik bus kota. Nampaknya, bagi mereka, membelikan sebuah laptop bagi anaknya pertama kali adalah sebuah momen yang megah. Hari penyerahan piala dari perjuangan mereka menabung dalam waktu yang lama demi menunjang pendidikan anaknya.



Sepertinya, anak itu sudah tahu tipe laptop yang ingin dia beli. Setelah ibunya mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar laptopnya, garis wajah anak ini sumringah sekali, gembira yang tak terkatakan. Getir rasanya, ibunya bahkan hampir menangis. Bapaknya diam saja sambil berkali-kali membetulkan posisi kacamata yang sebenarnya baik-baik saja.
Lihat? Bagaimana bagi sebagian orang, membelikan laptop untuk anaknya adalah sebuah puncak dari rangkaian perjuangan, dan merayakannya adalah sebuah kemegahan besar. Tapi, sebagian orang telah  buta dengan melupakan puncak-puncak kebahagiaan yang berjudul "Keluarga".

TEPAT DUA PULUH TAHUN LALU...

2 oktober 1993.
Ya, tepat dua puluh tahun yang lalu dari sekarang, ibuku dimakamkan dengan damai di Petaling, Pangkal Pinang, Bangka-Belitung. Tidak pernah menyerah ia melawan kanker stadium akhir di usia yang dua puluh lima.

Aku ingat, dua tahun lalu, untuk pertama kalinya aku mengunjungi makam ibu. Nama jalan masuk ke makam ibu bernama "Jl. Penantian". Nama jalan yang seakan-akan dipas-paskan untuk penantian 19 tahunku untuk datang ke sana. Karena dalam jangka waktu itu, ibu tiriku tidak pernah mengizinkanku datang ke sini.

Kau tahu. Di depan makam ibu. Membersihkan makamnya dari daun-daun kering dan kerikil kecil. Menatap. Dan berdoa. Hari itu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku merasa benar-benar mengerti apa arti kata "pulang".  Hampir dua puluh tahun sudah meninggal, masih saja bisa mengajarkanku banyak hal.

Mendengar kisah-kisah dari kerabat dan membaca surat-surat peninggalannya, aku seperti hidup dalam dokudrama kehidupan ibuku dengan konstruksi cerita yang begitu indahnya, aku ingin memeluknya dalam mimpi tidur dan tidak ingin bangun lagi selamanya.

Aku membaca kembali surat terakhir ibu sebelum meninggal. Surat itu ditujukan untuk Atok, ayah dari ibuku. Corak kertasnya sudah kusam. Tapi kenangan tak pernah sama dengan kertas. Ia tak akan kusam oleh musim dan zaman.

Tepat dua puluh tahun yang lalu, kakak perempuankuu yang masih sangat kecil melihat ibu terbungkus kaffan. Ia tidak menangis. Ia berkata kepada nenek, "Nenek jahat! Ibu mau dibawa pergi.."

Dua puluh tahun aku mencintai ibuku dalam bentuk eksistensi seperti apa pun.
Dua puluh tahun aku punya pahlawan yang tak terduakan.
Dua puluh tahun tak habis doa untuknya..