KUAS-KUAS CAHAYA

Jika kita benar-benar belajar, tentu Kita akan merasakan betapa belajar dapat membuat Kita merasa sangat bodoh. Merasa kecil dan tidak tahu apa-apa. Apa yang kita tahu hanyalah sebutir pasir diantara samudra ilmu pengetahuan. Kalimat-kalimat seperti itu juga Aku rasakan ketika sudah mulai aktif belajar di kampusku tercinta. Belajar estetika merekam cahaya dan mengukir perasaan secara primordial seni. "Draw with the light," begitu dosen fotografiku menganalogikannya.

Hidup memang tak ubahnya proses berkesenian dalam hal merekam cahaya. Disitulah Aku sampai pada titik keyakinan bahwa Tuhan benar-benar maha besar. Dalam firman-firman Tuhan, dikatakan bahwa di hari akhir, suatu saat, akan diputarkan rekaman penuh satu kehidupan di depan mata kita : kehidupan kita sendiri. Kita akan melihat sendiri dari sudut pandang lain betapa Kita banyak menyia-nyiakan waktu dengan hal-hal tidak berguna, menghabiskan malam dengan menongkrong di perempatan sampai subuh. Atau puntung-puntung rokok yang Kita habiskan demi terlihat jantan, atau demi pergaulan. Alasan-alasan bodoh untuk membakar paru-paru dan kantong kita sendiri. Meski Aku berhenti merokok bukan perihal ketaubatan atau masalah kantong. Hanya perkara cinta kepada diriku, dirinya, dan demi kandungan 20,9% oksigen diatomik yang ada di jantung udara.
Ketika Kita menonton sendiri perilaku kehidupan Kita di hari nanti, Kita akan dipaksa menonton sendiri betapa Kita menghabiskan masa muda begitu cepat hanya untuk bersenang-senang dan berkenalan dengan masjid ketika sudah terserang osteoporosis dan uban-uban yang sudah bertumbuh subur. Sebagian lainnya akan menangis bersamaan dengan detik-detik yang terbuang bersama tato-tato di dada Mereka dan ciyu ditangan kanannya. Tangan yang seharusnya digunakan untuk menggenggam buku dan pengetahuan.

Di satu sisi, timbul niat buruk dalam hatiku untuk mencuri rekaman-rekaman kehidupanku sendiri di masa lampau. Untuk menyaksikan betapa bahagia air mukaku ketika Ia menatap mataku dengan manja. Disaksikan koloni lampu-lampu. Atau burung walet yang terbang ke selatan. Untuk menyaksikan betapa Aku ingin menghentikan waktu di tempo Ia mengikat jariku dengan jari-jarinya dan jari-jari masa depan.  

Mungkin juga jika aku jadi mencuri rekaman-rekaman itu dari atas langit ketujuh, Aku juga akan menyaksikan getir. Adalah ketika Ia mencampakkanku dan menyeretku dalam pusara cahaya mati. Ketika sematku patah di peraduan. Atau menyaksikan tangisan-tangisan yang deras umpama topan di tengah kemarau.

Melihat masa lalu, mungkin bukanlah sebuah dosa. Meski menjelma jadi tikam-tikam yang menyihir hari-hariku bagai bergelimang darah. Semerah saga. 

Aku tahu, memajang gambar dirinya di desktop komputerku adalah sebuah kesalahan. Menjadi pintu masa lalu. Membawaku masuk ke dalam kesedihan-kesedihan di masa lampau. 

Yang harus Aku lakukan, adalah melukis lagi masa-masaku dengan kuas cahaya. Merekamnya ulang jadi kebahagian dengan tinta cita-cita, kuwarnai dengan warna kesabaran dengan pelukan-pelukan kepada optimisme. Aku akan melukis masa depan. Meski apa yang kulukis tak akan pernah jauh dari apa-apa tentang dirinya. 

Untuk menggapainya, Aku rela menawarkan seluruh umurku.