ORANG-ORANG BERPIANO


Seperti yang sudah pernah aku celotehkan, Jibril, dedengkotku satu kontrakan, adalah mahasiswa piano klasik yang jari-jarinya seperti terpahat langsung oleh alam semesta dan berevolusi menjadi buku-buku yang sempurna untuk menghasilkan nada-nada bersayap lewat tuts-tuts piano. Pun demikian, Ia memiliki perangai sederhana yang patut diapresiasi oleh 80% kandungan nitrogen yang Aku, Kau, dan dosen-dosen mata kuliah fotografi dasar menghirupnya.

Kebetulan sekali, mahasiswa Institut Seni Indonesia jurusan musik mayor piano klasik kemarin malam (25 Oktober 2011), menggelar satu pertunjukan piano klasik perdana bertajuk SOWAN (Konser mahasiswa Piano angakatan 2011) di auditorium musik ISI Yogyakarta. Kesempatan ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh punggawa-punggawa baru para ksatria nada angkatan 2011 jurusan piano klasik untuk unjuk kebolehannya perihal membius penonton dengan tonal-tonal puitis yang melenakan.

Sebagai dedengkot satu kontrakan yang baik hati dan rajin cuci piring, Aku sengaja berencana membuat kejutan untuk Jibril malam itu. Sehari sebelumnya, secara berangasan Aku mengajak Jibril foto-foto dengan kamera nikon baru milik Kecap. Eh, tanpa dinyana, setan-setan narsis di dalam tubuh si Jibril malah semakin menjadi-jadi.

 Bagai orang sakit syaraf, sekonyong-konyong Dia langsung berganti baju dengan baju putih lengan panjang dan menggunakan baju putih lain mliknya di kepala sebagai sorban imitasi. Ketika melihat ternyata hasil fotonya bagus MBUANGET ekspresinya (karena sudah lama di Yogya, Aku mulai ketularan ngomong B jadi MBe), buru-buru Aku langsung 'memasak' bahan foto itu jadi sebuah desain poster sederhana dan mencetaknya di kertas ifory ukuran A3 beberapa jam sebelum konser dimulai.  


Jam enam sore aku belum juga mandi, masih bau peluh dan tembikar, Aku malah leha-leha sambil buka-buka facebook. Mengetik nama seseroang (kau tau siapa, si FRW itu loh) di search box, mengklik profilnya dan membaca-bacanya lagi, atau sekedar membuka-buka fotonya yang memabukkan tiada tara. Jika sudah puas, langsung buka new tab, klik twitter, langsung menuju twitternya lagi. Begitulah Aktifitas yang seakan jadi rutinitas candu bagiku. Tidak nihil guna juga sebenarnya. Karena opini-opini miliknya selalu saja cerdas dan membuatku kagum. Tapi melihat profilnya dan menonton foto-fotonya setiap hari serasa membuatku berada di dimensi lain. Yang mana di sana hanya tertinggal aku dan bayangan-bayangan tentangnya.

Keasyikan berselancar di dunia maya, Aku sampai lupa tempo. Sudah jam 7! Sebangat kijang diancam singa, Aku langsung berlari ke kamar mandi, menyibakkan air sekenanya di muka dan badanku, kemudian berangkat ke auditorium musik ISI. Untung saja poster yang sudah aku cetak telah aku masukkan ke dalam tas sampur hijau lumutku.

Setelah melihat daftar, astaga, ternyata Jibril akan tampil di urutan terahir. Tak buang tempo, Aku langsung saja membelisak berdiri dan mengacung-acungkan poster bergambar Jibril dan meneriakkan namanya di sela-sela rehat pertunjukan. Biar malu sekalian Jibril. Sebagai profokator handal, Aku meracuni kawan-kawanku dari seni media rekam untuk ikut-ikutan menyoraki Jibril. Benar-benar contoh makhluk yang tak berbudi aku ini.
Sadar jadi pusat perhatian, Aku malah semakin lasat dan menjadi-jadi. Ketika sela rehat itu Aku membacakan puisi secara spontan dan selantang-lantangnya.

"Jibril! Jangan bersembunyi! Turunlah dari langit dengan sayap-sayap dan jari-jarimu yang membawa nada surga! Jibril! Mana lagu-lagu keteguhanmu yang biasa kau dendangkan di malam-malam yang membuncahkan dada?! Keluarlah Jibril! Mainkan udara di sekitar menit-menit Kita jadi meluruhkan dengan nada-nada tarian jemarimu!"

Entah kerasukan apa, urat maluku seketika itu saja menghilang. Kakiku tidak dingin, apa lagi gemetaran dipandangi orang satu auditorium. Tapi sepertinya Aku memang dilahirkan tanpa urat malu. Beberapa teman yang duduk di dekatku memasang wajah "nggak kenal ah, nggak kenal," dengan sangat lalim. 

Setelah melewati beberapa lagu, ahirnya tiba di saat kesempatan Jibril datang untuk memanggungkan kemampuannya. Ia masuk ke panggung dengan wajah ngempet ngguyu . Bahkan, seperti orang sesat akal, Ia terlihat linglung dan salah posisi. Dia lupa letak kursi dimana Ia harus duduk! Sontak seluruh hadirin tertawa. Jelas saja, dalam momen itu, Jibril terlanjur populer gara-gara kesesatanku meneriakkan namanya bagai orang memanggil hujan.

Seperti seharusnya, Ia memainkan lagu Liebestraum gubahan musisi legendaris Frans Liszt dengan istimewa. Tak ada cacat barang sedikit dari tangga nada yang Ia main-mainkan. Sama seperti di saat ia memainkan lagu yang sama, lagu faforitnya itu di kamarnya, di saat tengah malam dengan volume yang dikecilkan. Jibril jadi penutup di konser itu. Dan ia menjadi penutup yang sempurna.

Tapi, secara keseluruhan Aku sangat menikmati perhelatan ini. Tidak hanya Jibril, semua pemainnya sangat memukau. Ada sebuah gegap gempita di dalam dadaku ketika menyaksikannya. ini bukan hanya perihal membaca partitur-partitur tua dan menjelmakannya jadi untaian lagu. Aku ingin membawa pulang semuanya. semua yang bergantian tampil di panggung itu. Ada dua lagu  yang sungguh melenakanku. Salah satunya yang membawakan lagu fragment karya Jaya suprana dan satunya aku lupa judulnya. Sungguh teledor. 

Mereka adalah Dinda dan Ridha. Kawan satu jurusan Jibril.  Sungguh terkesiap Aku memandang mereka bermain piano. Mereka terlihat bersahabat baik dengan piano. Mereka semua, terlihat terbawa dalam lagu yang Mereka mainkan. Mungkin juga karena lagu yang mereka bawakan sangat sesuai dengan selera musikku. Aku suka mendengarkan musik. Sangat suka. Sebenarnya hal itu adalah wujud balas dendamku yang sama sekali tidak dapat bermain alat musik.


Aku yakin, orang-orang seperti Mereka, dapat dengan mudah sekali membikin orang jatuh hati hanya dengan 8 detik bermain piano. 

Selamat kawan-kawan. Kalian bermain dengan sangat hebat.