RELASI BURUK DROP OUT-SISWA PECANDU

Pada praktiknya, regulasi drop out bagi anak sekolahan yang memakai narkoba dan obat-obat tidak penting semacamnya lebih acap dipilih sebagai jalan pintas kebijakan sekolah demi menjaga nilai-nilai almamater di mata masyarakat. Tapi jika kita sedikit lebih memakai otak kita dan berpikir kritis, fenomena itu terkesan “nggak mau tahu” dan lepas tangan. Pantas jika kita menyebutnya sebagai “Tidak bertanggung jawab”. Padahal, selain factor personal, lingkungan sekolah pastinya memiliki andil pada perkembangan perilaku (behaviour building) yang merupakan salah satu fungsi lembaga pendidikan selain mengembangkan aspek kognitif dan skill.

Gengsi dan nama besar suatu sekolah seperti menjadi titik pertimbangan yang berat timpang disbanding fungsi sentral (main function) yaitu menciptakan individu berkualitas untuk negara ini, negara Indonesia, negara yang hukumnya tunduk oleh om Gayus dan Anggodo.

Drop out memang terkesan sekejap dan bimsalabim tuntas nama sekolah bersih. Padahal justru disitu tindakan busuknya. Saya bukan pecandu, saya juga secara pribadi tidak mendukung pengonsumsian psikotropika di kalangan remaja. Tapi Saya rasa drop out bukan opsi yang bertanggung jawab.

Pada UU no.20 tahun 2003 tentang pendidikan pasal 5 ayat 1 jelas-jelas berbunyi begini loh : “Setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan bermutu untuk seluruh siswanya” termasuk pendidikan kerohanian dan pembentuka karakter (character building) yang bias menjadi benteng untuk keluar dari jarring jebakan kompulsif narkoba.

Dikuatkan lagi oleh pasal 11 ayat 1 di UU yang sama : “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan wakil pemerintah yang mempunyai kekuasaan (power) untuk mengontrol jalannya pendidikan. Jika dikatakan siswa tersebut telah mencabut haknya sendiri ketika melakukan tindak amoral seperti mengonsumsi narkoba dan teman-temannya, berarti itu saja menafikkan UU. No. 20 th. 2003 pasal 5 ayat 2 : “warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau social berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Jadi, secara rasionalitas hokum, opsi yang lebih baik adalah merehabilitasi anak korban narkoba dan memberikan perlakuan khusus, entah hukuman atau bagaimana, tergantung kebijakan sekolah.

Karena siswa pecandu, mengonsumsi narkoba karena kelabilan emosi mereka. Itu sangat wajar, masa remaja memang transisi paradigma yang sulit. Yang harus ditekan adalah peredaran narkoba itu sendiri, juga mengedepankan pengembangan moral anak.

Walau memang pelajar pecandu di Indonesia sedang berada di titik fluktuatif yang memprihatinkan. Pada 2007 saja, menurut survey departemen kesehatan, 22 ribu pecandu adalah anak SMA, 6000 SMP, dan 3000 SD.

Dikuatkan oleh statement Dirjen bina kesehatan masyarakat Budiraharja dalam seminar hari anak nasional di Jakarta pada 29/07/2009 yang menyebutkan bahwa 70% pengguna narkoba di Indonesia adalah Pelajar!!!

Angka-angka seperti itu bukan untuk dihujat, tapi untuk dijadikan pijakan memperbaiki kualitas pendidikan moral sebagai dasar ideology, bukan Do sana sini untuk menyelamatkan muka. Mau dikemanakan nilai-nilai pancasila yang sudah lama kita jaga?