"JANCUK" SEBAGAI DIKSI YANG MULIA DAN HANGAT

Sebelum kamu membaca isi artikel ini, pastikan kamu sudah menjebol habis benteng sok moralis yang dibangun dari kemunafikan. Yang sejatinya terpatri di tiap lini masyarakat karena contoh dari pejabat-pejabat kita yang buncit perutnya. Kalau bicara moral, itu tak ubahnya ular yang mengejar ekornya sendiri, tak ada titik temu. Karena ideologi di dunia ini tidak bersifat tunggal. 

Kerap kali kata "Jancuk" didiskreditkan sebagai kata yang hanya diucapkan oleh orang-orang tidak berpendidikan dan preman pasar kembang. Padahal, public figure sekaliber Pramono Anung, Sudjiwotedjo, Anas Urbaningrum, sampai Ari Lasso, biasa saja bilang jancuk.

Kita telusuri dulu yuk akar kata dari Jancuk itu sendiri. Jancuk berasal dari kata "encuk" yang dapat kita terjemahkan sebagai berhubungan seksual, menyetubuhi, atau proses penetrasi saat berhubungan badan. Orang bule bilangnya "f*ck". Sama aja artinya. Kadang orang Indonesia, yang Saya sendiri tidak tahu karena mau sok gaul atau sudah skeptis luar biasa dengan negeri ini, sering misuh dengan bilang "f*ck" ketimbang "jancuk". Bahkan nasionalisme pada dasrnya sudah terkikis hingga ke ranting seperti ini, yang kelihatannya sekilas memang remeh temeh.


Nah, kata "encuk" tadi melewati prosesnya, acap diimbuhi frase menjadi "di-encuk" alias menjadikannya kata kerja pasif. Karena sering diucapkan dengan cepat, "di-encuk" perlahan berkembang jadi "diancuk", lantas bermetaforsa sempurna menjadi "jancuk".


Bukan hanya itu, kata itu melahirkan banyak opsi artikulasi : jancuk, diemcuk jaran, diancuk, diamput, mbokne ancuk, hancik, dan masih banyak lagi.


Pada dasarnya, kata ini difungsikan sebagai umpatan eksplosif dan eksplorasi emosi saat marah atau melampiaskan ketidaksukaan.


Sekarang, atau sejak bertahun-tahun lalu, pemakaian kata ini melebar menjadi kata yang meiliki makna persahabatan, kehangatan, dan kekaraban khas orang kota pahlawan. Asal kata kancuk memang dari Surabaya, tapi meluas mulai dari kota-kota di Jawa timur hingga akhirnya menjadi sangat populer secara nasional. Sudjiwotedjo, seniman terkenal lulusan ITB, memiliki andil besar dalam perkembangan perluasan kata ini. Di akun twitternya yang di-follow puluan ribu orang, Sudiwotedjo malah mempopulerkan hastag #jancukers untuk sebutan orang=orang penggemar jancuk dan followernya.


Kiai seterkenal KH. Mustofa bisri, pernah bergumam di twitternya, "Jancuk memiliki definisi yang lebihhangat bagi kamu priayi,"


Bagi bapaknya #jancukers, Sudjiwotedjo, Jancuk itu kunciuntuk memberangus kemunafikan. Bilang Jancuk membuat kita merasakan kelegaan seperti habis orgasme.


Coba kita cermati dulu, contoh-contoh penggunaan kata "jancuk" :
  • Fungsi umum, sebagai pisuhan : "Jancuk, raimu nggatheli, sepatuku wingi mbok guak yo?"
  • Fungsi sapaan hangat penuh kekraban : "he cok, yaopo kabare?"
  • Fungsi awalan pujian : "Jancooook, seksie arek iku, iku lo.."
  • Fungsi media bercanda : "cok, onok ae kon,"
  • Fungsi ejekan : "cok, raimu koyok cikrak!"
  • Fungsi kata ganti sama dengan hai, he, jek, jeh

Bapak Bagiono, expert public relation di SEAMOLEC, dan juga bapak Karyana yang selama enam bulan menjadi atasan sekaligus sumber inspirasi saya selama di Jakarta, pernah memberi teori bahwa setiap kata  mengandung imaji. Setiap kata memiliki arti yang dapat dicerna menjadi sesuatu. Dan perubahan nada juga dapat menggeser satu persepsi dari satu diksi. Sehingga, kata Jancuk, dapat dikastakan sesuai penggunaannya. Kita bilang Jancuk dengan nada "aku cinta kamu" tentu rasanya berbeda dengan bilang "jancuk" dengan penekanan di suku kata terahir. Betul tidak?


Dan berdasarkan pengalamn pribadi waktu di Jakarta, kata ini, Jancuk, memang sangat menarik atensi. Lucu juga kata "jancuk" digumamkan oleh teman dari Jakarta. Belum lagi anak-anak laknat dari Surabaya dan Malang disana acap mengajari anak lainnya dari Solo, Magelang, Bali, hingga Banjarmasin asik-asikan dengan Jancuk sejuta makna. Ini lucu, representasi nyata bahwa Jancuk bisa jadi media pemersatu danpenghancuk berbagai sekat. Diantaranya sekat kemunafikan dan sekat keakraban. Bahkan ketika anak sebaya dari berbagai penjuru tanah  terkumpul di satu titik seperti yang Aku rasakan.


Dan yang sempat terbersit lagi, betapa mulyanya jancuk itu sendiri. Jancuk yang selalu direndah-rendahkan banyak orang, selalu rela direndahkan demi keseimbangan diksi bahasa dalam kehidupan. Karena hakikat hidup adalah keseimbangan, sedangkan dalam keseimbangan harus ada protagonis dan antagonis. Jancuk masih dengan rendah hati rela mengisi perannya yang tidak ingin diisi oleh kata lain. Ini filosofi yang patut kita tengadahi sebagai wujud teladan. Jangan malu belajar dari Jancuk.