JADIKANLAH GURAT SENYUM IBUMU SEBAGAI PEMANDANGAN SURGAWI


FOTO : IBUKU SEBELUM MENYERAH MELAWAN LEUKEMIA

Hari Ibu hanya dirayakan oleh manusia-manusia yang memiliki Ibu. Kenyataan tersebut sedikit banyak menghujamku. Aku tidak menuntut empati siapa-siapa ketika hari Ibu menjadi satu refleksi pahit bagi piatu sepertiku. Ibuku berhembus nafas terakhir ketika Aku hanya sesosok Bayi berumur 11 Bulan yang menangis ketika haus tengah malam. AKu tidak menggerutu pada takdir yang tidak berpihak padaku.

Aku terbiasa dengan dialog seperti :

Temanku : selamat hari Ibu :)
Aku : Ibuku sudah meninggal :)
Temanku : ups. maaf, aku betul-betul nggak bermaksud nyinggung
Aku : ah, nggak papa kok.

Yah, Aku tidak menggurui untuk berempati. Aku bukan ahli di bidang itu. Yang Aku tahu, Aku tidak merayakan hari Ibu. Jika ditanya ingin atau tidak merayakan hari ibu, ya tentu saja. Siapa personal di bumi ini yang tidak membutuhkan satu hari selama setahun untuk terbuka dan menutup segala gundah setahun penuh. Aku juga ingin membungkus hadiah dan tersenyum pada beliau : "bu, selamat hari ibu".

Tapi apa daya beliau terselimut hangat kain kaffan di bawah nisan beliau. Kadang aku mengutuk diriku sendiri, kenapa AKu tidak pernah sempat mengenal Ibuku. Bahkan Beliau belum sempat melihat aku pandai membaca dan mengaji qur'an. Juga tidak ada Ibu yang berteriak girang ketika pertama kalinya aku menaiki sepeda roda dua. Aku tidak mengharap maklum siapa-siapa ketika hari ibu menjadi salah satu hari paling gundah sepanjang musim.

Hari ibu sedingin bulan Ia disematkan, bulan desember. Aku sebagai anak yang dilahirkannya, selalu mencoba mendoakan yang terbaik untuk beliau. Walau hingga detik ini aku belum pernah menyentuh nisan belau dan membacakan alfatiha di depannya.

Ingin sekali Aku membungkuskan doa dengan kain sutra dan meletakkannya diatas nampan perak. Disana terukir nama Ibuku. Dan kuletakkan di tahta hatiku setinggi-tingginya. Sungguh rumit cintaku pada beliau. Apa kau tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang yang bahkan belum sempat kau kenal?

Aku juga tidak pernah menanam sedikitpun bibit dendam pada penyakit leukemia yang menggerogoti umurnya hingga meninggal pada usia 25. Jika seorang kenalan bertanya "ibuku umurnya masih 40, berapa umur ibumu?" aku dengan sinyum simul akan menjawab, "duapuluh lima tahun. tidak lebih,". Percakapan itu akan agak panjang dan berujung pada pernyataan penyesalannya.

Makanya, secara natural, Aku selalu marah besar ketika teman atau siapapun membentak Ibu kandungnya sendiri. Aku tidak segan menghujat didepan hidungnya. Karena Aku tidak punya Ibu untuk dibentak dan disalahkan. AKu tidak punya Ibu yang tersenyum menuntunku melewati masa sesulit remaja.

Aku tidak ingin berpanjang-panjang pada penyesalan yang retoris. Aku ingin Sholat dan mendoakan Ibuku disetiap sujudku. Walau hanya itu wujud baktiku, Aku sedikit banyak agak tenang. Itulah ucapan selamat hari dariku. Doa sepanjang musim. Tak kenal kemarau atau penghujan Doaku pada beliau akan selalu menembus mendung di selatan, akan selalu melewati gemintang yang berpendar-pendar saat malam. Menuju hyang jagad. Yang maha pengampun dan mengabulkan doaku.

Aku akan masuk universitas dan membanggakanmu. Ibuku akan bangga. AKu yakin. Pias wajanya di foto selalu mencerminkan hal itu. Ia akan selalu bangga padaku, anaknya.

Dan kepada kalian yang memiliki Ibu untuk bersandar, jadikanlah Ia sebagai pemegang tahta tertinggi di hidupmu. Berikan subuh dan senjamu padanya, bersimpuhlah pada tuhan dan harapkan yang baik untuk beliau. Jangan sakiti ibumu. karena ketika beliau terbelut kain kaffan, kamu akan merasakan betapa dunia lebih kejam dari neraka.

Jadikan senyum ibumu pemandangan surgawi yang tiada tara membahagiakan hatimu. Belikan Ibumu sesuatu dari sisa uang sakumu, atau dari gajimu.

Jangan bentak ibumu seakan beliau adalah ratu dari segala negeri. Yang mengayomi dan maha bijak.

Sekarang pulanglah dan rangkul Ibumu. rasakan betapa nikmatnya memiliki Ibu yang bangun pada pukul satu malam hanya untuk menyusuimu. Ibu yang melahirkanmu dengan erangannya. dengan segala kekuatannya, demi eksistensimu!

Ibu yang memarahimu ketika kamu pulang lebih dari adzan maghrib, ibu yang mendukungmu membaca dan menulis. Ibu yang... ah. Taukah kau betapa irinya aku akan hal itu.

Kita baru akan merasakan memiliki begitu kuat justru ketika kita kehilangannya. Itu benar. Dan merasalah memiliki sebelum sesal menjajahmu.