FORGETTING BEE

Aku tak akan membuka post dengan metafora alam. Karena alam sedang memutar lagu yang tidak begitu enak. Tidak terlalu jauh dari hujan yang berderai-derai dengan anginnya yang seirama. Aku tidak terlalu peduli dengan itu.

Entah kenapa saat bangun tidur siang dadaku sesak. Perasaanku seperti dirajam-rajam. Aku tidak bermimpi. tapi kenapa aku tiba-tiba saja teringat satu wanita yang bayangannya selalu terseduh di kopi pagi hari? paling tidak satu bulan ini aku sudah sedikit berhasil melupakannya sedikit. Sudah berhasil menurunkan kadar kompulsif. Aku bangkit dan melihat sebentar buku "The Pompey", hadiah ulang tahun darinya. Yang menjadi pertama dan terahir kali. kedengaran sangat sentimentil. Tapi begini adanya. Buku itu punya singgasana sendiri di rak buku.

Siapa lagi kalau bukan Bee. Yang jika Ia hidup pada masa kerajaan mesir, mungkin kaum mesir akan mengukir kecantikannya dengan hierogliph yang rumit.Mereka menggambarkan bahwa dewa pun akan jatuh cinta jika melihat Bee. Brrr... Agak sedikit terisolir oleh kata berlebihan (baca : lebay).

Dia perempuan yang berhasil membuat hariku berukir-ukir abstrak selama setahun sembilan bulan terahir. Setahun merajut kasih dan sisanya untuk melupakannya. Sumpah aku sudah menurunkan level kompulsifku padanya selama sebulan. Itu memang lebih baik daripada tidak sama sekali. Walau tetap saja yang namanya menghujam itu menyakitkan.

Aku online YM 12 jam setiap hari berharap nama "kitten lutuna" terpampang disana. Dengan berharap. Tapi dia tidak disana. Atau dia berhasil memblok akunku. Biarlah. Aku selalu berhayal dia menyapaku, selalu berhayal jika aku mengetikkan nama "Bee" di search box namanya akan keluar. Tapi tidak. Akun facebookku sudah diblok. Aku bisa saja membuat akun baru untuk melihat profil fesbuk atau twitternya, tapi itu tidak akan memberi efek apa-apa secara jangka panjang. Walau aku terbenam pada perasaan seperti ini, aku selalu mencoba tetap memakai rasionalitas.

Dia orang yang membuatku menyesal paling dalam. Dia membuatku menyesal telah membuatnya menangis, membuatnya marah, membuatnya.... aaarghhh... *sigh.

Ini seperti sebuah dilema di persimpangan. Aku benar-benar limbung. Di satu sisi, ini membuatku ingin berprestasi, ingin menunjukkan padanya bahwa aku ini sesuatu. Biasanya saat dia marah, dan aku mencetak prestasi, dia langsung reda. Dia benar-benar motifator dengan metoda terbaik. Di lain pihak, aku merasa tidak bisa apa-apa tanpa dorongannya. Kepercayaan diriku seperti digerus habis, tersisa segelintir saja.

Dia pernah bilang, "i dont speak with school boy". Ini membuatku semakin semangat untuk mencapai hasil terbaik dalam kelulusan. Aku ingin datang dengan almamater universitas dan mengetuk pagar rumahnya, yang setiap aku lewat selalu gelap. Kadang Tasya keluar berlarian. Dia masih kecil, tapi lebih besar dari terahir aku melihatnya. Aku seperti penguntit saja, sering iseng melewati rumahnya. Tidak mengetuk. Tidak sowan. Hanya lewat dan berhayal dia mengintip dari balik jendela. Menghayal sensasi kenyataan. Suatu saat aku harus sadar bahwa hanya penghayal abadi yang mati dalam kenyataan.

Aku akan ke jogja tahun depan. Targetting yang ambisius. Untuk melupakan Bee...