SELAMAT TINGGAL MALANG


Malam ini pukul sembilan. Dinginnya dan tabur bintang yang menghampar bagai ikan di lautan seakan menagih segala ucapan selamat tinggal dariku, memeras segala bentuk serapah dan pandangan haru. Gemintang membentuk kapal pesiar yang gagah bukan buatan, tanpa nahkoda dengan layar selebar teratai untuk katak. Seakan menamparku dari mimpi, menendangku dari ketakaburan hidup yang membahana.

Ini malam terahirku di kota ini, kota tempat Aku mengadukan gundah pada rindang pepohonan. tempat dimana biji-biji keringat enggan keluar dari sudut pori-pori kulitku. Amboi, sejuknya kota ini. Malang dan kehidupannya yang dibahanbakari oleh persaudaraan.
"salam satu jiwa," begitu bunyi slogan yang teramat kerap berkumandang oleh khalayak malang kepada setiap orang. Bagi sebagian yang tau, akan menjawab "Arema,"

Fanatisme mereka pada klub sepak bola kota mereka juga bagai sarang laba-laba saja. Menjebak setiap yang tinggal untuk mencinta. Arema memanglah terlampau kokoh namanya di hati masyarakat sekitar. Tak heran seminggu penuh gemuruh konvoi di jalanan amat kencang dan berguncang setelah tim kesayangan mereka menyabet gelar juara liga Indonesia.

Aku yang saat itu hanya memandangi dari ujung trotoarpun turut merasakan euforia luar biasa yang memenuhi seluruh kota. Tak kurang sebiji kuacipun tersisa dari buncahan kebahagiaan dan kebanggaan. Dua kombinasi tepat untuk mengadakan pesta. Ya, malang berpesta selama seminggu penuh waktu itu.

Kota yang sebenarnya masih terbilang kurang dijamah globalisme budaya barat, budaya orang-orang pirang yang gemar pesta tak kepalang tanggung. Mall di Malang masih bisa dihitung jari, tingkat segmen mallnyapun tak ada yang lebih tinggi dari menengah bawah. Kontrasme tinggi jika dibandingkan metropolisme Jakarta dan Surabaya.

Di dua kota itu, mall sudah seperti wc umum saja. Kuantitasnya tak wajar. Mall tersebar memerangkap seluruh kota dalam jajahan budaya.

Malang membuatku sulit membedakan antara mimpi dan kenyataan kadang. Karena keduanya ambigu dan terperangkap simplikasi makna dan tujuan. Seperti benci dan cinta, orang bilang tak jauh beda, sama-sama membuat dada terpompa.

Banyak orang luar biasa yang aku temui disini. Mas a'an, pegawai diknas yang merupakan cerminan nyata dari "diam itu emas", orang yang tidak banyak bicara namun dapat menyelesaikan tugas dengan tangkas. Inovasinya membumbung dibalik kebisuannya, tidak bicara jika kita tidak memulai pembicaraan.

Juga Mbak puput, yang selalu ceria di hari-harinya yang penuh senyuman, mbak Vita yang doyan mbanyol di facebook tapi keliatan serius saat kerja, mbak Yani, yang gemar sepak bola.

Nanti Aku akan menceritakan kalian tentang Erika Rosita. Butuh satu judul buku untuk mendeskripsikannya, juga perasaanku padanya.

Semua berlalu begitu cepat, seperti berskala satu banding sejuta. Rasanya baru kemarin aku dengan jaket hijau melangkah menginjak tanah Malang. Sekarang semua telah tergurat dalam bingkai hidupku, akan kusimpan rapi.

Selamat tinggal Malang. Aku tandai perpisahan ini sebagai persahabatan. Bukan sebagai daun yang berguguran.