PERNIKAHAN, LEGALITAS, AMARAH DAN PENCAMPAKAN

Nonton final piala dunia dan baru mengistirahatkan badan pukul setengah lima pagi adalah hal gila untuk orang yang akan menikah di kantor urusan agama pukul sepuluh. Tapi itulah yang dilakukan Mas Rizky, kakak iparku. Bahkan kami bangun tidur jam delapan, dua jam sebelum pernikahan! Minum kopi sambil mengumpati kekalahan Belandapun masih santai saja dinikmati tanpa rasa malu pada mentari pagi.
Tapi percaya atau tidak semua berjalan lancar-lancar saja tanpa ada hambatan berarti.

Saat melihat kakak perempuanku satu-satunya dirias, Aku merasa perempuan didepanku itu mirip sekali satu-satunya foto Ibu kandungku yang aku miliki, saat Ibu terbungkus riasan pengantin juga. Sayang sekali foto itu ada di tangan Istri Bapakku, dan tidak pernah boleh aku ambil kembali. Biarlah. Orang tidak akan menyangka seorang Ibu tiri menolak memberikan kembali foto Ibu kandungku yang Dia rampas. Bapakku tahu atau tidak? persetan. Mana peduli beliau betapa berharga foto itu bagiku.

Pernikahan kali ini sebetulnya hanyalah prinsipal semata. Hanya kebutuhan administratif saja karena ijab kabul sudah dilakukan sejak lama di Jawa Tengah. Walau begitu, ini tetaplah momen penting, momen formalitasi Kakakku satu-satunya berpindah tanggung jawab, bersuami dan akan menggapai keluarga yang lebih baik. Aku merasakan euforia yang sama dengan yang digambarkan video clip westlife di lagu "the rose".

Kakakku yang rasanya baru saja kemarin menangis karena patah hati, kakakku yang rasanya baru saja kemarin mengajakku bermain monopoli dan halma, sekarang anggun dalam gaun putih pengantin. Lengkap dengan sanggul modern di kepalanya.

Mereka berdua bertudung senyum saat ijab kabul berkumandang, ijab kabul kedua memang, tapi tetap saja getarannya adalah mantra penguat rasa, menciptakan harapan-harapan baru dan obsesi-obsesi baru.

Yang hadir disana amatlah sedikit, bisa dihitung jari. selain wali hakim dan pengijab kabul, hadir juga Cak Kur, Ayah dari mempelai pria (mas Risky), juga ada Om topan, sahabat baik Cak Kur beserta istrinya (beliau ini yang mengenalkan dengan bu Fath), ada juga Bu Fath, Orang dinas yang baik, yang membantu prosesi dari awal hingga ahir. Dan Aku, satu-satunya keluarga Kakakku yang menginjak tanah KUA sidoarjo waktu itu.

Tapi ada kemarahan yang kupendam hari itu. Ketidakhadiran Bapakku mungkin saja bukan disebabkan oleh ketidakpeduliannya, tapi oleh ketidaktegasannya memposisikan diri sebagai Ayah yang memegang kendali, bukan yang tidak berdaya menjadi boneka tali istri barunya dan keluarga istri barunya. Dan harus mencuri-curi kesempatan untuk sekedar menelepon saat upacara pernikahan sudah berlangsung lima jam yang lalu? Itu amat menyedihkan sebenarnya.

Aku menahan amarah. Aku menahan tangis. Juga sesak yang kurasa didada. Kenapa semua seperti ini!! Kenapa Bapak selalu tidak berani ambil resiko?! Apakah keadaan yang harus selalu disalahkan? Tidak! Ini semua tak akan terjadi tanpa ketegasan Bapak. Tertusuk rasanya. Dipernikahan Kakakku, Beliau tak menyempatkan hadir dengan konyol. Ini konyol!! Apakah Bapak sudah bahagia dengan keluarga Bapak yang baru? yang lengkap? Yang benar-benar baru itu?!!

Penyesalan memanglah sesuatu yang sia-sia. Tangisan hanya menambah luka. Walau aku kadang-kadang menikmati tangisan itu sendiri. Bukan sebagai simbol keputusasaan. Tapi sebagai senandung yang aku nyanyikan dalam hati, dalam harmoni nada-nada minor kehidupan, melupakan integrasi mayor yang selalu saja sulit dimainkan olehku.