4 PUCUK SURAT DI PANGKAL JULI (PART-1)

Untuk Bapakku,
Jakarta, Bandung, Malang. Tiga kota yang eksistensinya mengajarkanku tentang hidup : keras dan memaksa. Walau eksistensiku sendiri di lubuk hati hati Bapak masih adalah suatu kabut tajam, kabur dan menusuk.
Jakarta yang bebas, free, nyaris tanpa batas, menanamkan akar bahar pengendalian diri yang tumbuh subur.
Bandung yang gemerlap memberiku petualangan-petualangan hebat yang selama 10 tahun ini masih asing wujudnya dalam terjemah duniaku.
Malang dengan alamnya yang subur sangat meneduhkan hati yang 10 tahun dididihkan dalam bejana berukir kurungan.
Sesuatu yang Aku benar-benar baru mengenalnya, mengendalikannya, dan membuat hal-hal baru dengannya.
Tak kuhitung berapa kali pintaku Bapak tolak untuk keluar dan berkenalan dengan apa itu kebebasan, apa itu hak asasi, apa itu pengambilan keputusan untuk membentuk diri sendiri,
Agak deskriptif. Tapi Aku tidaklah seeksplosif yang logis bila Bapak sematkan padaku. Aku sempat seperti anjing yang kehilangan tuan, terbiasa didikte dengan komando yang diktatoris dan begitu tersentral. Terlunta-lunta mencari jati diri. Hingga langkahku melewati beberapa penjuru zamrud khatulistiwa. Dan menemukan sekelumit pengalaman yang menjelma menjadi guide untuk menuntunku lebih bisa berpikir sedikit lebih tidak keruh.
Konklusinya, kebebasan adalah hak segala bangsa. Terdengar seperti patahan UUD Indonesia 1945, tapi kebebasan tetaplah suatu yang lama Aku cari rimbanya. Yang tidak akan Aku lepas begitu saja. Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa dan menunjuk siapa yang harus bertangungjawab atas semua ini. Biar saja alam yang menunjuk.
Dulu Aku cuma dedaunan yang rapuh, yang hancur dalam sekali remas, kini aku mencoba menempelkan pecahan-pecahan itu dan menanamnya, merawatnya dengan bulir harap akan menjadi ranting-ranting kokoh yang meneduhkan.
Aku tidak terlalu suka bermetafora, disamping Aku yang masih merasakan sisa-sisa traumatis yang begitu nyata : merasa akan selalu salah, merasa menjadi buronan, merasa tidak punya wewenang untuk ambil keputusan apapun, walau itu menyangkut hidupku sendiri. Jika ada yang bilang “itu hanya perasaan dipa saja” itu berarti subjek tersebut tidak menghargai perasaanku secara objektif dan mengesampingkan bahwa semua orang punya pendapat. Bisa juga kita sebut mengesampingkan keadilan.
Aku cuma ingin itu semua benar-benar dibungkus dedaun talas dan dibuang jauh-jauh ke ujung pelangi. Ditutup rapat-rapat dan dilupakan. Itu masa kelam.
Aku mendambakan sesuatu yang benar-benar baru. Bapak adalah nahkoda. Seorang nahkoda harus tegas dalam menentukan arah dan berani dicerca. Bapak sebenar-benarnya sudah berlaku sedemikian, tapi masih terlalu aman.
Jika tidak memungkinkan diimplementasikan padaku (atau terlambat), mohon dengan seribu sujud, jangan sampai adik-adikku merasakan efek traumatis yang sama dan begitu menghujam.
Bapak tetaplah Bapakku teladanku. Walau mungkin seumur hidup Bapak tidak pernah memelukku. Ungkapan Kasih sayang Bapak yang paling kuingat adalah saat Bapak meletakkan tangan bapak di kepalaku lantas mengusap-usapkannya dirambutku. Sesuatu yang akan tidak pernah Aku dapatkan lagi. Bapak perlu tahu, sekecil apapun Bapak menunjukkan kasih sayang bapak, itu sangat berharga untukku.

Hormatku,

Dipa Utomo