KINI AKU BERJAJAR DI RAK DISKON

  1. sepatu hitam
  2. Seragam pitih abu-abu
  3. seragam putih-hitam
  4. Ikat pinggang standard
  5. kaos kaki putih polos
  6. Buku-buku pelajaran
  7. Buku-buku tulis kosong
Kali ini Aku melihat daftar kebutuhan sekolahku dengan mata sayu. Sejak kecil biasanya tiap tahun ajaran baru tiba, sepatu baru dan buku-buku ada yang menyediakan. Tentu saja ini hanya salah satu dari resiko yang Aku ambil ketika memutuskan untuk hidup mandiri tanpa orang tua. Sesak memang, karena ini yang pertama. Masalahnya bukan hanya kantong yang semakin menipis, tapi karena beban mental yang terlanjur aku pikul.
Aku masih memikirkannya saat jalan-jalan ke Malang Olympic Garden (MOG), karena memang sedang musim back to school, seluruh Mall dibanjiri barang-barang keperluan sekolah seperti sepatu, seragam, buku, dan lain-lain. Lengkap dengan plat diskon yang terpancang disana-sini.

Bukan lagi sportstation yang Aku tuju sekarang, bukan juga sporthouse, tapi Aku bergumul diantara rak-rak barang diskon yang harganya lebih terjangkau. Berdesakan dengan bermacam orang yang menjamah barang itu satu-satu, melihatnya, dan melemparnya lagi ke tumpukan jika merasa kurang cocok. Seperti melompat dari jurang saja rasanya, tapi apa dayaku? inilah resiko. Setiap tindakan yang benar selalu membawa resiko yang besar. Aku selalu berdoa resiko yang besar akan menghasilkan sesuatu yang besar pula.

Uang di rekeningku hanya menyisakan sedikit rupiah. Tentu Aku mau tidak mau harus memikirkan bagaimana hidupku di Surabaya nanti, dengan apa nanti kebutuhanku dipenuhi. Aku seorang manusia, tentu saja memiliki keinginan yang tingginya tak tergapai, kadang rasionalitaspun tak memihak. Banyak yang Aku inginkan sekarang : sepatu baru, walkman sony, jaket baru untuk menggantikan jaketku yang sudah termakan usang, juga hape baru. Karena hapeku yang lama sudah rusak dan susah untuk memperbaikinya kembali.

Aku juga punya penyakit aneh yang setiap ke toko buku, selalu saja nafsu untuk membeli buku terpuncrat deras dan hanya bisa berorgasme jika sudah membelinya. Aku menyebutnya penyakit kutu buku. Apalagi saat melihat buku Andrea Hirata yang baru, Dwilogi padang Bulan yang berjajar di rak buku baru. Untungnya Aku berhasil menahan diri.

Keinginanku yang paling primer tentu saja laptop, karena hanya itu yang bisa membuatku dapat melakukan multitasking. Susah sekali rasanya. Sesakpun menghantam saat memikirkan bagaimana Aku harus kuliah. Aku tidak terlalu pandai berkognitif untuk beasiswa, dan Aku tidak tinggal dengan orang tua. Sehingga lebih bijaksana merupakan satu-satunya opsi untuk tetap berkembang, karena berkembang itu tidak gratis.

Malam semakin malam, renungku tertelan oleh kelam dan dingin olehnya, malam Kota Malang.