CITA-CITA YANG LUGU

Sedari kecil, aku mempertanyakan banyak hal. Kenapa orang-orang harus menghormat kearah bendera secara masal setiap hari senin dan tanggal 17 Agustus di sekolah-sekolah? Kenapa orang harus mengeluh di saat kemarau maupun hujan padahal Indonesia hanya memiliki dua musim? Kenapa orang-orang harus memakai dasi agar kelihatan lebih berwibawa?

Entahlah. Hal-hal semacam itu terkadang terlewatkan dan dianggap memang sudah dari sononya. Padahal, aku menganggap itu semua adalah sebuah konstruksi budaya yang berevolusi dalam waktu yang sangat lama. Dan itu sama sekali tidak sesederhana berhitung mundur dari sepuluh sampai minus tujuh atau menghafal tangga nada suatu lagu nasional. Pikiran-pikiran ini menggangguku. Karena menyangkut mau kemana arah hidupku harus ditapak selangkah demi selangkah.

Waktu Aku kecil, aku ingat aku ingin menjadi bulan sabit. Aku juga ingin menjadi angkasa, dan aku ingin menjadi air. Ternyata aku memiliki banyak cita-cita yang abstrak. Tetapi, aku memiliki cita-cita sungguhan sejak kecil : aku ingin menjadi penulis seperti bapak. Aku merasa menulis adalah jiwaku. Kalimat-kalimat puitis adalah nyawa, gurindam-gurindam kecil adalah jari manisku.


Dan aku merasa sangat geli, sangat geli, ketika pertama kali mendapat honor dari menulis beberapa tahun yang lalu. Lambat laun aku mulai terbiasa menjual kata. Mulai tidak terlampau tenggelam dalam euforia yang kekanak-kanakan ketika menerima upah dari menulis. Seperti bapak. Bapak pernah mengalami fase menggantungkan hidup dari menulis. Bapak baru menjadi dosen tahun 1992, tahun aku dilahirkan. Sebelumnya, bapak menulis untuk hidup, bukan untuk bangga-banggan dan dipamer-pamerkan.

Makanya, aku mulai curiga kalau-kalau aku ini tidak diciptakan dari tanah, tapi dari puisi. Maka jadilah wujudku yang abstrak begini.

Waktu aku pertama kali bisa membaca di usia 5 tahun, aku benar-benar gembira dan membaca seluru kata yang ada di koran harian. Setiap hari meski aku benar-benar tidak tahu arti kata-kata ekspansi, elaborasi, eliminasi, atau apalah. Tapi aku merasa gembira. Membaca, saat usiaku 5 tahun, lebih gurih rasanya dari pada tempe penyet kesukaanku, lebih manis daripada gula-gula dan lebih menyenangkan daripada naik komidi putar di pasar malam.

Ketika aku kelas 6 SD, wali kelasku bicara pada bapakku saat pembagian rapor bahwa aku memiliki imajinasi yang tidak biasa di usia 11 tahun. Dan bapak menceritakannya di rumah dengan bangga. Saat itu juga, ya, saat itu juga. Aku ingin membuat bangga bapakku dengan tulisan. Aku ingin membuat bapakku tersenyum seperti itu terus. Dengan tulisan. Karena menulis adalah jiwaku.

Tapi, aku lantas patah arang karena senyum-senyum sinis seseorang. Yang tidak etis aku ceritakan dalam blog ini. Orang yang saat aku berumur 8 tahun, dan bicara selayaknya anak kecil dengan riang "suatu saat aku akan menjadi penulis, seperti bapak," tetapi Ia malah tersenyum sinis dan membuat harap patah di cungking. Yang kuterima bukan kalimat-kalimat membesarkan dan memotivasi. Aku tidak membencinya. Tapi aku menyesal harus mengatakan cita-citaku padanya.

Saat pertama kali menulis blog, aku tidak pernah berpikir suatu hari nanti blogku sampai dikunjungi tiga puluh ribu kali. Aku hanya ingin menulis dan blog memberiku ruang. Meski aku tidak mendapat uang dari sini. Tapi hatiku bahagia. Blog ini seperti kebun tempat aku bisa menanam bunga-bunga dan merawatnya dengan pupuk paling bagus di dunia.

Seperti cita-cita masa kecilku yang lugu : aku ingin jadi angkasa, aku ingin jadi bulan sabit, aku ingin jadi air, dan aku ingin menjadi penulis, seperti bapak.