AKU INGIN MENJADI KUPU-KUPU DAN SEBUAH RUANG BERSYUKUR


" Bapak bilang, kalau suara deburan ombak itu sangat indah....
Bapak juga bilang, suara kodok sehabis hujan itu lucu...
Tapi aku tidak bisa mendengar suara itu..."

Itu tadi sebuah penggalan dari dialog pementasan anak-anak DAC (Deaf Art Community), sebuah komunitas inisiatif dari Broto Wijayanto, seorang seniman teater yang mengumpulkan anak-anak tuna rungu dan memberi mereka ruang untuk berkesenian.

"Ini tempat saya bersyukur, karena saya mampu mendengar," kata pak Broto.

Luar biasa! Aku benar-benar dibuat takjub saat pertama kali berkunjung ke DAC untuk melakukan sebuah riset kecil untuk mengekseskusi film ini. Aku mendapati anak-anak sebaya, tidak mampu mendengar, tidak mampu berbicara dengan bahasa normal, tetapi mereka sangat percaya diri, mampu membaur, dan ceria! Yang kedua, aku dibuat takjub karena mereka jauh (jauh sekali) lebih handal menari dan membuat pertunjukan dibanding saya (sebenarnya saya pernah berpikir untuk belajar debus, errr... atau paling tidak akordeon).



Pada titik ini aku sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan itu maha adil. Talenta mereka sangat hebat, sehingga orang-orang berjejal menonton pertunjukan mereka bukan hanya sebatas pada dimensi 'kasihan', tapi sungguh, pertunjukan mereka benar-benar dapat dinikmati. Kalau tidak percaya, nonton film ini!

Film ini aku ikutkan dalam sebuah festival dokumenter yang diadakan kampus lain. Dan sama sekali tak jadi soal apa film ini akan juara atau tidak. Karena kemarin, sekitar hari jumat tanggal 16 maret 2012 aku mencoba memutar film ini di hadapan anak-anak DAC, mereka cukup antusias menontonnya. Ketika seorang sineas membuat film untuk suatu kelompok dan kelompok itu merasa cukup terwakili, itu adalah sebuah bentuk apresiasi tertinggi yang dapat diterima oleh seorang sineas. Dan saat itu aku ingin memeluk mereka semua.

Kemudian aku harus mengucapkan terima kasih yang sangat besar untuk sahabat saya Yudhi Agus dari STMIK AMIKOM yang sudah membantu blog ini berganti wajah menjadi www.remajajelata.com
Sungguh tidak merugi punya sahabat seperti Yudhi. Kami berteman baik ketika di Jakarta, dua tahun yang lalu.

Aku juga berhutang budi pada pak Broto, Arif, Kiki, Rizky, Diki, Bowo, Fani, dan semua anggota DAC. Entahlah, di depan kalian aku merasa menjadi lebih tuli, karena tidak peka memandang dunia dan seisinya. Aku merasa menjadi seseorang yang idiot dalam hal bersyukur, dan aku harus belajar bahasa isyarat! Hahaha... karena aku cukup kesulitan waktu mencoba menerjemahkan beberapa scene film ini. Aku harus dibantu Pak Broto dan Arif untuk akhirnya bisa menerjemahkannya.

Awal ide pembuatan film ini adalah ketika aku tiba pada suatu hujan, di situ aku merasa bahwa suara hujan itu merdu, suara hujan itu puistis. Aku langsung berpikir bahwa akan sulit jika tidak dapat mendengar. Di sebuah obrolan aku bilang pada Pipin (Pintoko Nur Cahyani) , tanya tentang anak-anak tuna rungu di jogja. Ternyata Pipin sering membantu kegiatan-kegiatan DAC, kebetulan sekali. Waktu Pipin menunjukkan brosur DAC, aku membaca puisi mereka dan aku langsung jatuh cinta pada mereka..

"Pin, kita harus segera membuatnya," kataku ke pipin waktu itu,"

Proses pembuatan film ini memberikan saya sebuah ruang bersyukur sebesar-besarnya, sehingga saya punya visi baru, yaitu menanamkan esensi-esensi yang hebat dalam karya-karya audio visual saya selanjutnya.

"Ini tempat saya bersyukur, karena saya mampu mendengar" ... super sekali kalimat pak Broto..
:)