VALENTINE DAN KAKEK PENJUAL BUNGA

Bagi sebagian orang, valentine adalah seikat bunga. Adalah sekotak coklat atau hadiah-hadiah manis dengan bungkus merah jambu. Jika teliti, biasanya lengkap dengan pita volkadot yang sengaja diikat dengan seksama. Bagi sebagian orang lainnya, malah valentine tidak perlu dirayakan (terutama bagi yang jomblo dan nggak laku-laku). Bahkan sebagian orang masih salah mengeja Valentine dengan Falentine. Entah karena tuts huruf 'v' di komputernya rusak atau simbol rendah hati, pura-pura bego.

Ya. Valentine, hari kasih sayang, memang ada setiap pagi. Tanpa kita sadari. Saat dosen kita memaklumkan keterlambatan kita karena melihat mata kita yang masih bengkak, itu adalah kasih sayang. Ketika temanmu meminjamimu pena saat kamu mau mengisi absensi dan tidak bawa pena, itu juga kasih sayang. Kita berpikir terlalu jauh dalam mencerna kasih sayang. Kasih sayang, sekecil apa pun bentuknya, sesederhana apa pun perwujudannya, adalah sesuatu yang patut kita syukuri karena kasih sayang adalah sebuah anugerah.

Valentine dan orang-orang bodoh yang merayakannya dengan coklat juga merupakan anugerah besar bagi para petani kokoa. Dan indonesia adalah penghasil kokoa ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi biji kakao sebesar 490.000 ton per tahun. Indonesia, dengan hasil kokoa sebesar itu, merupakan penghasil biji kokoa terbesar se Asia-Pasifik. Tentu saja omset petani kokoa  naik beratus-ratus persen banyaknya saat mendekati hari valentine. Ada hikmah di balik kebodohan-kebodohan. Tenang saja.

Begitu juga yang terjadi pada toko hadiah, bunga, dan penjual pita. Aku masih ingat, di dekat rumahku di perumahan Taman Pondok Jati, Sidoarjo, di pasar pagi ada seorang kakek penjual bunga. Umurnya menua, sendal yang dipakai sudah usang, celananya tambal sana-sini dan dipakai setiap hari. Setiap hari ia berdiam membawa dagangannya dan terpekur duduk di depan kali. Menanti ada pembeli yang sudi menukarkan bunga plastik bikinannya dengan selembar uang seribu rupiah. Sayang sekali, tidak ada yang membeli, bahkan menoleh. Kakek itu diam. Hanya diam. Dia tidak memiliki ponsel untuk sekedar mengusir sepi. Hidung bengkoknya tak kenal lelah mengambil nafas-nafas yang sabar.



Setiap hari aku melihatnya, ketika berlari pagi melewati pasar pagi Taman Pondok Jati atau saat kebetulan membeli bawang merah di pasar. Aku melihatnya dan selalu saja terenyuh. Ia berjualan setiap hari di situ dan tidak ada seorang pun yang menghampirinya. Dia seperti bagian dari trotoar, seakan kerikil.

Saat itu umurku empat belas tahun dan aku masih SMP. Aku memutuskan untuk menghampiri kakek itu dan membeli beberapa ikat bunga.

Aku bertanya pada kakek itu kenapa terus berjualan bunga padahal tidak pernah aku melihat ada pembeli. Kakek itu hanya tersenyum mendengar pertanyaanku yang lugu.

"Namanya cari duit nak, laku tidak laku adalah urusan Tuhan," Ia mengambil nafas sejenak "Jika saya mati karena menjual bunga, saya bangga sebab saya mati karena menjual kasih sayang. Bukan menjual alkohol, rokok, ganja, dan hal-hal tidak berguna lainnya,"

Aku tersentak. Begitu hebat efek kalimat-kalimat bapak itu. Kakek itu, menjadi bijak tanpa perlu menjadi kapitalis, tanpa perlu menjadi pragmatis. Aku terdiam. Hening.

"Jadi beli tidak nak?" kata Kakek itu menyadarkanku dari lamunan.

"Saya beli tiga ikat," kataku menyerahkan uang enam ribu rupiah.

Aku mengamatinya dari jauh.


"Jika saya mati karena menjual bunga, saya bangga sebab saya mati karena menjual kasih sayang. Bukan menjual alkohol, rokok, ganja, dan hal-hal tidak berguna lainnya,"

Dan sampai hari ini aku masih mengingat kejadian itu. Aku berharap kakek itu mendapat berkah dari hari valentine ini, mendapat cukup uang untuk makan dan menyekolahkan cucunya yang yatim piatu.
(Jika kau kebetulan lewat di pasar pagi Taman Pondok Jati Sidoarjo dan kau jeli, maka kau akan melihat kakek ini terpekur di depan kali, bersama kasih sayang-kasih sayang yang dijualnya)

-Happy Valentine-
:)