LAKI-LAKI PENANAM PADI

Aku sering kali menceritakan sosok-sosok hebat dalam blog ini. Namun itu masih sebatas kerabat, sahabat dekat atau bahkan mantan kekasih. Padahal, ada banyak sekali sosok dengan aura seperti malaikat yang pernah aku jabat tangannya, atau paling tidak aku dengar nasihatnya. Aku yakin, hidup itu tentang nasihat. Bahkan, dunia menyisakan diam untuk kita renungi, untuk kita petik nasihat-nasihat dalam mengilhami diam.

Laki-laki yang kusebut adalah seorang petani di Desa Cabeyan, Sewon, Bantul- Yogyakarta. Dekat dengan tempat aku berteduh di bawah atap rumah kontrakanku yang sederhana. Aku mengenal Ia karena Ia adalah imam sholat di surau belakang rumah kontrakan kami. Imam sholat lima waktu. Suaranya merdu, dehemannya berwibawa, dan benar-benar tak tergantikan.

Umurnya yang menua tak membuat Ia gentar berjalan kaki menembus kemarau dan hujan dari rumahnya untuk menserukan adzan dan mengimami sholat. Ia benar-benar membuatku malu atas kesibukan-kesibukanku. Karena surau itu tepat di belakang rumah kontrakan kami. Tidak sampai dua meter jaraknya, tapi aku masih terkurung oleh kesibukan-kesibukan yang membuatku kadang lalai untuk melaksanakan sholat. Lebih malu lagi, aku selalu bersembunyi ketika disuruh oleh simbah kontrakan untuk segera adzan = aku bersembunyi dari pahala yang berlinang-linang kilaunya.



laki-laki itu kurus. Tampak dari tulang belikatnya yang menonjol, seakan sayap, membuatnya tampak sarat cahaya. Kakinya panjang seperti belalang, kulitnya terbakar matahari. Pipinya yang sudah peyot masih menyimpan wibawa di masa lalu. Karena garis-garis matanya mengatakan itu. Mata-mata seorang imam, seorang pemimpin.

Aku sering mendapati laki-laki itu lewat di depan rumah dengan sepeda kumbangnya. Sepedanya tua dan ringkih. Bunyinya berderit-derit memekakkan telinga. Sebuah cangkul yang gagah setia menunggang di bangku boncengan belakang sepedanya. Diikat tambang dengan simpul sederhana. Bekas-bekas tanah masih tersisa di ujung-ujungnya. Pakaiannya selalu kaos oblong gambar partai. Macam-macam partai. Ini sebuah bukti tentang pragmatisme politik : memanfaatkan petani berpendidikan rendah untuk iklan gratis. Dan petani juga merasa senang karena punya baju gambar partai gratis yang bisa dikotori.

Bajunya sudah lusuh, bolong sana-sini, bagian warna putihnya jadi abu-abu. Kuku-kuku kakinya mati dan menghitam karena terlalu banyak berinteraksi dengan air sawah.

Saat ia menjadi imam sholat, ia benar-benar tampil beda. Baju koko dan sarungnya disetrika licin sampai tidak ada kusut barang sedikit. Peci hitamnya lekat dan gagah. Dan ini kembali membuatku dirundung malu : penampilan terbaiknya adalah ketika menghadap Tuhan. Sedangkan orang-orang muda, mahasiswa, bahkan SMK/sederajat, masih terpaku pada gaya hidup yang ditanamkan orang barat. Biaya dan waktu untuk gaya, untuk tampak gaul, untuk tampak necis selalu lebih tinggi dari pada untuk Tuhan. Energi mereka habis untuk menjadi 'Gaul Sesaat'. Dan ketika umurnya menua, mereka menunduk dan menghina masa lalunya.

Laki-laki itu sangat dihormati. Orang-orang, penjual angkringan, Aa' Burjo, bahkan pak RT sekalipun, jika ia lewat langsung merunduk, tak berani jumawa dihadapannya. Laki-laki itu belum pernah pergi haji. Untuk makan saja sulit. Tapi selalu menjaga kerendah hatian yang tiada tara.

Darinya aku belajar, bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang hebat, yang disegani, yang didengarkan, tidak perlu menggunakan dasi. Tidak perlu jas dengan kancing berkilau, tak perlu sepatu yang licin rapih, tak perlu suara yang dibuat-buat, tak perlu tim sukses. Menjadi pemimpin adalah menjadi sederhana. Dan bagaimanapun bentuk seorang pemimpin, pakaian terbaikny adalah ketika Ia menghadap Tuhan.

(Untuk seorang Imam di surau belakang rumah kontrakan)