UNTUK PUNGGUNG BAPAK

Saat saya akan memasukkan lembar hasil studi ke dalam amplop dan mengirimkan ke alamat bapak, saya sempat berpikir untuk tidak menulis apa-apa. Hanya sepucuk amplop dan kartu hasil studi. Itu saja.

Sebelum akhirnya saya menulis dua paragraf pendek dan saya kirim bersama amplop putih tersebut di kantor pos terdekat. Yang hanya dijaga oleh dua manusia paruh baya berwajah bosan. Saya tidak berani menebak apa mereka bisa membuka e-mail atau tidak.

Sebentar, sebenarnya saya berbohong. Amplop itu tidak saya isi dengan kartu hasil studi dan dua paragraf pendek itu saja. Amplop yang saya kirim itu berisi kerinduan-kerinduan yang tidak terbuktikan. Karena kita berdua adalah sepasang Bapak-Anak yang canggung. Kita bisa minum kopi bersama tanpa berkata apa-apa. Tanpa barang sepatah kalimat. Sambil berdehem sekali-kali agar tidak hening. Saya tidak mengerti apa ini juga terjadi pada Bapak-Anak yang lainnya.



Meski kadang saya merasa hidup saya kurang lengkap sembilan belas tahun tanpa ibu, tetapi saya patut mensyukuri masih memiliki seorang Bapak yang diam... dan penyayang. Saya tidak pernah lupa ketika saya datang ke kamar bapak sambil merengek minta dibelikan harmonika gara-gara terpengaruh film kartun, esok harinya bapak turun dari mobil sepulang kerja sambil membawa dua harmonika merk suzuki yang perak berkilau-kilau. Satu untuk saya, dan satu untuk kakak saya. Waktu itu umur saya lima tahun, dan saya belum canggung untuk memberimu sebuah pelukan. kamu tersenyum kecil untuk pelukan saya. Hanya tersenyum.

Begitu juga ketika saya merengek minta dibelikan ketapel. Bapak membelikan saya ketapel kayu dengan karet yang tebal. Ketapel sungguhan! Bukan main. Bapak rela harus diinterogasi oleh sekelompok reserse karena membeli ketapel di waktu itu, tahun 1998 dan Indonesia sedang waspada.

Saya yakin, bapak tidak akan pernah mengungkitnya barang sekali.

Tidak. Bapak mengungkitnya. Bapak mengungkitnya lewat senyuman-senyuman kecil yang selalu mengingatkan saya bahwa saya memiliki seorang bapak yang hebat.

Saya ingat, waktu pertama kali saya minggat dari rumah, tiga tahun yang lalu, bapak menemui saya dengan wajah lelah. Tapi bapak masih sempat tersenyum. Senyuman yang selalu membuka ruang-ruang di kecil di hati, meninggalkan sesuatu bekas di sana. Selalu dan tidak tergantikan. Saat itu, bapak hanya tersenyum dan menanyakan kabar saya. Tidak ada kalimat-kalimat ofensif menyalahkan. Tidak ada kata-kata menuduh yang menyudutkan (meski saya sudah mempersiapkan diri untuk itu). Waktu itu, di tempat makan itu, aku ingin sekali memeluk kaki bapak dan menangis, menumpahkan segalanya di sana. Ingin yang tertahan.

Bapak selalu diam. Lebih banyak diam. Dan ketika hati saya ingin mengajak bicara bapak, saya selalu berhenti di belakang punggung bapak. Oleh kikuk dan gabir. Percayalah, saya selalu menginginkan kita mengobrol berdua dan membicarakan banyak hal seperti Bapak-Anak yang lainnya.

Waktu saya masih kecil, saya mengatakan bahwa bapak menikahi orang yang salah untuk dijadikan ibu  baru saya. Saya sadar, itu sangat kekanak-kanakan dan sebetulnya, itu reaksi yang sangat wajar karena sebagai anak laki-laki yang tujuh tahun tak beribu, saya memiliki ekspektasi-ekspektasi yang besar perihal kriteria menjadi ibu saya.Saya menuntut waktu itu. Dan umur saya benar-benar masih kecil.

kalau saya menyakiti hati istri bapak, itu adalah tindakan anak kecil, dan sekarang saya sudah lebih dewasa. Saya benci harus bilang maaf. Tapi saya benar-benar harus minta maaf karena sudah bertindak kekanak-kanakan di masa yang lalu. Saya, bapak, dan istri bapak yang kusebut 'mama' , adalah keluarga. Dan keluarga itu melindungi seperti payung di musim hujan... bahkan kemarau.

Saya punya masa depan. Saya laki-laki indonesia, yang bervisi, bukan sembarang laki-laki indonesia. Saya punya mimpi, meski impian-impian itu belum berkaki. Belum berlari dan belajar terbang dengan sayap yang tumbuh belakangan.

Saya juga seorang anak.
Dan Bapak adalah bapak yang hebat.