PENGKERDILAN FUNGSI AGAMA DI BULAN SUCI

Manusia terlahir sebagai homo comparative, makhluk yang membandingkan. Bahkan sejak bayi, Manusia sudah dapat mengkomparasikan sesuatu hal sekena hatinya. Misal lebih memilih digendong Mama dari pada Papa yang bau ketek, atau lebih memilih susu Ibu ketimbang susu formula karena kemasannya yang lebih eksotis (kalau yang ini lebih ke bapaknya *uhuk*). Dapat Kita simpulkan bahwa mengkomparasikan atau membandingkan sesuatu adalah lebih kepada insting ketimbang akal. Akal dan peradaban secara simultan dan konstruktif membuat insting bawaan manusia menjadi lebih rasional, terkendali, dan kedengaran keren karena memakai bahasa ilmiah yang terdengar lebih seperti bahasa alien.

Jadi, memband ingkan sesuatu adalah hal wajar bagi Manusia. Begitu pula dengan bila Saya membandingkan bulan Ramadhan dengan bulan tidak Ramadhan di Indonesia. Meski pun Saya bukan Kiai, dan bukan juga pakar sosial, hanya seorang Mahasiswa baru yang terkadang lupa mencukur bulu hidung, Saya punya wewenang untuk membandingkan. Karena secara teknis, Saya juga termasuk seorang manusia lengkap dengan alat reproduksi berjenis laki-laki (terahir ngecek masih laki-laki). Sebagai manusia, sah-sah saja Saya membandingkan.

Well, sebelum menelurkan tulisan yang sangat tidak berguna ini, Saya merasa sangat biadab dan tidak tahu adab. Bagaimana tidak, SMS-SMS sejenis "Menyambut bulan suci.. bla.. bla.. bla.. kami sekeluarga mohon maaf.. bla.. bla.."  yang datang berkeroyok banyak sekali, Aku hapus semua sebelum sempat kubaca sampai ahir. Awalnya Aku mengira SMS-SMS itu adalah tagihan dari kreditor panci. Sebelum Aku sadar Aku tidak pernah mengkredit panci karena bahkan Aku memiliki kucing yang sangat lucu (nggak nyambung banget sih).


Aku punya alasan. Bukan karena enggan berreligius-religiusan di musim religius seperti sekarang. Tapi karena merasa SMS-SMS itu tidak memiliki dimensi apa-apa, hampa, dan sama sekali miskin esensi. Mereka tidak benar-benar minta maaf, tidak benar-benar peduli, dan hanya mengikuti tradisi bodoh yang sudah membutakan itu. Fenomena kecil tersebut adalah bukti bahwa Masyarakat Kita telah terdidik dan terkonstruksi menjadi Masyarakat yang munafik. Jadi lebih baik acara minta maaf-minta maafan serupa itu dilakukan secara lebih personal dan objektif. Bukan SMS random ke semua yang ada di kontak ponsel.

Atmosfer psikologi manusia dan semesta memang terasa sangat berbeda di bulan Ramadhan. Secara historikal, bulan Ramadhan yang termasuk dalam kalender hijriah, adalah bukan buatan Tuhan, tetapi atas usul Umar bin Khottob selaku sahabat dekat Rasulullah. Pun demikian, keagungan, perlakuan berbeda, dan keistimewaan bulan Ramadhan telah berlangsung berabad-abad secara periodik. Sehingga secara periodik pula lah, semesta dan kondisi alam terbentuk menjadi mendamaikan dan mengalirkan energi-energi positif setiap bulan Ramadhan.

Saat bulan Ramadhan, "religius" tak ubahnya menjadi tema sebuah karnaval. Industri sarung, mukena, jilbab bergairah. Sirup, operator pulsa, margarin, sampai obat batuk berlomba-lomba memajang iklan bertemakan agama di jalan, televisi, maupun radio. Tak hanya itu, acara-acara televisi, dalam sekejap didekor sangat beraroma religius. Kalau Saya pikir-pikir lagi, rasanya itu malah menjadi lebih seperti sebuah pengkerdilan fungsi agama. Agama itu tiang kehidupan, segalanya musti Kita tumpukan disana. Tapi dalam hali ini, agama malah dikapitalisasi menjadi sebuah lahan advertasing yang menarik perhatian secara massal. Agama jadi hiasan, dimanfaatkan demi mengeruk profit. Agama dijadikan objek pembentuk karakter konsumenitris.

Saya perlu membawa-bawa UU. No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran dalam mengidentifikasi asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran di Indonesia. Semua itu ada pada pasal 2 hingga 5. Kita cuplik pasal 2 saja,
"Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil, dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etikam kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab."

Nah, jelas kan bila penyiaran Indonesia harus berdasarkan kepada Pancasila. Pada sila pertama, yang adek Saya juga hafal, berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa," . Sila ini menunjukkan bahwa Indonesia itu bangsa yang beragama, religius. tapi kenyataan di lapangan penyiaran Indonesia, terutama di bulan Ramadhan, malah melenceng jauh dari esensi sila pertama tersebut, Karena telah mengkerdilkan fungsi agama sebagai objek dekorasi dan kapitalisasi.

Adzan maghrib, yang merupakan program acara dengan rating tertinggi di bulan Ramadhan, bahkan dikapitalisasi. Berkedok dibumbui ceramah agama dan sebagainya, sebelum adzan maghrib iklan berhamburan, banyak sekali, dan lama. Coba kita perhatikan deh. Kebacut tidak sih adzan maghrib dikapitalisasi?

Tapi ada beberapa acara religius yang tidak melepas esensi dan stimulan yang tersampaikan secara mudah dan sederhana seperti PARA PENCARI TUHAN yang dimotori Deddy Mizwar. Meski sayang sekali, sekali lagi sayang sekali : kebanyakan iklan. Padahal tayangan iklan secara berlebihan juga tidak baik karena membangkitakan pembentukan karakter hedonik dan konsumenistris. Padahal, secara tegas, UU. No. 32 tahun 2002 pasal 46 ayat 8 telah meregulasikan bahwa iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta PALING BANYAK adalah 20% atau seperlima dari seluruh durasi program. Misal program acaranya berdurasi sejam, harusnya iklan jika digabungkan hanya 12 menit saja. Dan haqqul yakin LPS/ channel-channel di Indonesia lebih acap mengabaikannnya ketimbang (paling tidak) menghormatinya.

Ya beginilah globalisasi di bidang komunikasi. Bagi Saya, globalisasi di bidang ini mereduksi aspek sosial.