NISAN YANG BISU

Ketika Ravelra, keponakanku, untuk pertama kalinya dapat berjalan dengan kedua kakinya, Kakakku tampak sangat bahagia. Senyumnya bercahaya, berbinar-binar umpama mercusuar di tengah samudra. Kebahagiaan tulus seorang Ibu yang secara naluriah merasakan keceriaan anaknya, darah dagingnya, sebagai puncak ekstase kehidupan. Replika dari segala tingkat nirwana dengan pintu berwarna emas.

Melihat keponakanku bisa berjalan, juga merupakan anugerah bagiku sebagai seorang Paman yang menyayanginya. Namun, di satu sudut segi hatiku, ada secuil rasa iri terhadap keponakanku. Yang membuat iri adalah pancar raut muka Kakakku sebagai Ibunya yang terlihat seperti sedang dibungkus pelangi. Ya, keponakanku masih diberi karunia oleh Tuhan untuk membahagiakan Ibunya dengan pertama kali berjalan, nantinya akan berlanjut lagi dengan membahagiakan Ibunya lagi dengan pertama kali sekolah, pertama kali bisa membaca, dan pertama kali dapat mengendarai sepeda roda dua.

Ada sedikit perasaan sesak yang tumbuh di ulu hatiku, serasa ingin menembus dadaku yang limbung. Aku menyesal tidak sempat membahagiakan Ibuku dengan pertama kali berjalan, pertama kali membaca, atau pertama kali khatam Qura'n. Ibuku wafat terlalu mudah (meski Ibuku rakyat jelata, tapi bolehlah Aku menyebutnya dengan 'wafat' karena Aku menyimpuhkan hormat pada beliau secara tak tergadai). Ibuku meninggal di usia 25 tahun. Sebelas bulan setelah kelahiranku. Dan dirawat di ICU sejak usiaku 6 bulan karena terserang penyakit leukemia akut.



Bayangkan, di sebelas bulan hidupku dimana Aku masih memiliki seorang Ibu, lima bulan diantaranya harus Aku habiskan dengan kondisi Ibuku yang terpapah lemas, sekarat, menanti ajal. Aku masih bayi, tapi apa Tuhan tidak memberikan Aku hak untuk sedikit saja mengenal ibuku? sebentar saja. Terkadang, Aku merasa Tuhan semena-mena. Terkadang, Aku mencoba berbaik sangka dengan menganggap memang sudah jalannya seperti itu.

Perasaan iri ini kambuh semakin parah ketika banyak orang, saat memasuki bulan suci, mengadakan semacam budaya minta maaf kepada Ibunya. Mungkin bagi sebagian orang, aktifitas itu hanya perkara basa-basi. Tapi, bagiku, bersimpuh dan berlutut kepada Ibuku adalah sesuatu yang telah Aku cita-citakan. Meski cita-cita itu sangatlah retorikal. Sebuah ilusi kesedihan, kabut dari kekalutan. Meski mengandai-andai sesuatu yang tidak mungkin adalah bukan hal baik, tapi Aku terkadang belum bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal yang sangat absurd selayak itu.

Aku kuliah di Bantul, Jogjakarta, jauh dari Surabaya, tempat dimana aku lahir dan tumbuh. Para perantau, memasuki bulan suci juga memiliki ritual sendiri. yaitu menelepon Ibunya sekedar meminta maaf dan say hello. Aku membayangkan, alangkah membahagiakannya bila Aku masih memiliki seorang Ibu yang meneleponku dari jauh dan sekedar mengatakan, "Buka puasa apa hari ini kamu nak?"

Tapi yang kutemui hanyalah nisan yang bisu, yang bahkan selama tujuh belas tahun tak pernah kuziarahi, tak pernah kubacakan Fatiha menghadap ke kiblat, tak pernah kutabur bunga, tak pernah kuelus nisannya. Yang kulakukan hanyalah menangisinya dari atas sajadah tempat Aku membenamkan diri untuk memanjatkan doa, agar Tuhan menyayanginya seperti beliau menimangku ketika Aku masih bayi. Sajadah yang terasa sangat panjang ketika Aku berada di dimensi quadran lain, di dimensi yang emosional, yang campur aduk.

Bulan puasa, bagiku selalu terasa indah. Tapi selalu terasa ada yang kurang. Tidak ada Ibu yang membangunkan sahur atau memberi tahuku bahwa hari sudah maghrib dan waktunya berbuka puasa. Dimana Ibuku telah menyiapkan kolak pisang dan sepiring kecil kurma untuk berbuka bersama-sama di ruang keluarga. Hal-hal yang tak kuat Aku bayangkan. Aku iri. Sangat. Dan Aku marah ketika kawan, sahabat, saudara, atau siapa saja membentak ibunya. Rasanya saat itu Aku ingin membanting sesuatu ke arah mukanya dan membentaknya betapa hinanya Ia membentak-bentak seorang yang surga ada di telapak kakinya. Betapa jika Aku bisa menghidupkan Ibuku kembali, tak akan pernah tega Aku melukai hatinya barang sebingkas.

Nabi Muhammad SAW, memohon kepada Alloh SWT agar Ia diperbolehkan menziarahi makam Ibunya meski awalnya hal itu tidak diperkenankan oleh Tuhan. Tapi akhirnya menjadi halal karena ketulusan Rosul. Maka, Aku punya hutang budi kepada Rosulullah sebab karena Beliaulah menziarahi makam diperbolehkan. Sehingga Aku dapat lebih secara khidmat dan khusuk membaca sholawat kepada Nabi.

Sejak kecil, sejak TK, di mobil antar jemput, di kelas menggambar, atau di masjid, ketika teman-temanku   membicarakan Ibunya masing-masing, Aku hanya menunduk, ada perasaan pedih, ada perasaan menyesal, ada perasaan malu. Mereka membicarakan Ibunya yang hebat, pintar memasak, atau membelikannya playstation untuk membahagiakannya, ada juga yang dengan menggebu-gebu menceritakan bahwa Ibunya menyaksikan dirinya menjuarai suatu kejuaraan sepak bola.

 Ibu-Ibu seperti itu, adalah para Manusia suci yang harus dikalungkan medali, yang harus ditatahkan setinggi-tingginya.

Aku tumbuh dengan cerita-cerita mengharukan tentang seorang Ibu. bahkan di era komunikasi generasi kedua seperti sekarang, tak kurang yang memuja-muja Ibunya di Facebook, twiiter, jabber, windows live, plurk, AOL dan sebegainya.

Orang-orang yang menganggap kata Ibu adalah kata yang paling harum yang pernah diucapkan Manusia, maka Ia adalah orang yang beruntung.

Ibuku, meski sudah meninggal, namun masih memiliki sebuah kekuatan astral untuk menjadi trigger terbaik yang bisa Aku miliki. Dan doa-doaku padanya, tak akan pernah terhasut oleh jabatan atau intan berlian. Cintaku pada Beliau adalah mutlak dan tidak bisa dibeli.
Rangkullah Ibumu sekarang juga, minta maaf pada Beliau apa pun salah yang pernah kamu buat. Rangkullah dengan khidmat, sebelum kamu Akan merangkulnya di relung kubur. Dan menangis di depan nisannya.