JIKA HACHIKO DI INDONESIA

Aku ini orang yang kerap terobsesi dengan kesejatian. Mulai dari cinta sejati, persahabatan sejati, sampai pengabdian sejati. Ditambah dengan sifat sentimentil yang mendominasi diriku, tak usah kaget bila Aku menangis berderai-derai setelah menonton satu film yang dibintangi Geogre Clooney yang diadaptasi dari kisah nyata : "HACHIKO".

Tentu Kau sudah kuceritakan tentang hewan peliharanku, kucing persia yang menggemaskan luar biasa bernama HAI WO itu. Tak kalah setia, jika Aku keluar rumah, Ia gemar sekali terpekur di ambang jendela. Seperti berharap melihatku memarkir sepeda motor dan sesegera menyapa dan mengelusnya. Jika Aku sudah tiba dan membuka pintu, Hai Wo langsung buru-buru saja mengelus-elus kakiku secara sangat manja sambil mengeong lembut.


Tapi, Aku berpikir lagi. Realita kisah mengharukan Hachiko agaknya sulit bila terjadi di Negeri Indonesia ini. Sangat nggak relevan. Khususnya di Kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Pertama, Hachiko itu jenis anjing akito, anjing kampung jepang. Bayangkan, anjing kampung sudah selucu dan sebagus itu. Di Indonesia? Kucing kampung jalanan di Indonesia didominasi oleh kucing garong (yang bahkan sudah dilagukan). Kucing jalanan di Negeri ini lebih sering ditemukan dekil dan menyebarkan penyakit lepra daripada menggemaskan.

Kedua, pertemuan dramatis itu dilakukan di tempat umum, di stasiun, fasilitas publik. Di luar negeri, pejalan kaki punya jalur sendiri. Kalo Hachiko di Indonesia, belum menemukan si profesor sudah khatam duluan kegencet angkot. Bagaimana tidak, trotoar sudah dikuasai pedagang kaki lima sampai kumuh, tidak ada jalur sepeda, yang ada hanyalah jalan-jalan yang dipenuhi sesak tanpa ruang kendaraan pribadi yang bahkan asap knalpotnya sudah hitam jelaga. Misal si hachiko menunggu 9 tahun di jalanan seperti jalanan Indonesia, mungkin belum enam bulan sudah mati mengkerut karena kebanyakan menghirup monoksida.

Ketiga, profesor itu sehari-hari naik kereta yang termasuk angkutan umum. Sedangkan di Indonesia, orang-orangnya mayoritas lebih memilih ngredit motor dengan angsuran semurah-murahnya. Mungkin bisa pakai alternatif. Hachiko menunggu di depan terminal joyoboyo. Nah, kesannya jadi seperi si Hachiko sedang menunggu Mbok Yem pulang belanja yang mampir dulu buat pacaran sama supir angkot.

Kita cari tempat lain. Bagaimana jikalau Hachiko menunggu di depan terminal busway? hmm, sangat tidak masuk akal. Karena Hachiko akan ditariki tiket masuk terminal dan Hachiko tidak memiliki uang sebanyak itu. Ah, kayak nggak pernah tahu birokrasi Negeri sendiri *colek*. Lagipula, minta dilindes sama supir busway pakai ban depan apa belakang? tinggal pilih.

Keempat, Hachiko menunggu selama 9 tahun, bertahan hidup dengan belas kasihan penjual daging dan hot dog, juga santunan para orang-orang yang terenyuh hatinya. Di sini? boro-boro. Di warung pecel lele, ada seekor kucing kurus kerontang kelaparan mengeong merayu-rayu minta makan kepada pengunjung yang sedang asyik mengunyah penyet lele dengan nikmatnya. Mayoritas, pengunjung semacam itu akan menendang kucing tersebut sampai mampus alih-alih memberi makan. Penjualnya? Paling banter nyiram air comberan.

Kelima, hewan peliharaan di negeri ini cenderung lebih pragmatis, memanfaatkan keadaan, memanfaatkan kasih sayang majikannya demi makanan lezat, bukan persahabatan. Kalau hewannya pintar, paling-paling dijual ke sirkus. Lumayan buat beli beras.

Yah, begitulah, terkadang sebuah kisah dramatis perlu didukung setting dan insfratuktur yang mendukung. Muahahahahaa.....