TERIMA KASIH, RUMAH SINEMA YOGYAKARTA

"Perpisahan itu kadang-kadang tidak dapat dimengerti eksistensinya. Dan mengapa di dalamnya tersimpan rapat sebuah kesedihan adalah salah satu dari jutaan rahasia Tuhan.

Hampir setahun saya berkecimpung di dunia literasi media bersama Rumah Sinema Yogyakarta. Organisasi alternatif yang bergerak di bidang media massa berupa kursus, penerbitan buku, seminar, dan sebagainya. Saat pertama kali bergabung, saya merupakan mahasiswa ingusan semester satu di Institut Seni Indonesia. Itu yang membuat saya menemui sebuah paradoks besar pada mulanya. Karena Rumah Sinema bergerak di bidang ilmiah, sedangkan kampus saya dihuni orang-orang yang sangat condong jiwa seninya.

Hal ini saja membuat saya banyak belajar bahwa dikotomi pengkotak-kotakan antara seni dan ilmu adalah perbuatan bodoh. Karena pada hakikatnya, yang terpenting adalah berbuat baik.

Di Rumah Sinema Yogyakarta, saya bertemu orang-orang hebat. Akademisi-akademisi kampiun yang tanpa lelah mengabdikan dirinya, jiwanya, waktunya, demi menyeret dunia media massa ke arah yang lebih terang benderang dengan pikiran-pikirannya.

Mbak Dyna Herlina,

Seorang dosen di Universitas Negeri Yogyakarta, double degree sarjana komunikasi UGM dan ekonomi UNY dengan predikat cumlaude kedua-duanya! Sarjana S2-nya juga ia borong dengan predikat cumlaude. Seorang Ibu yang baik untuk anaknya yang lucu, arasy, dan beberapa kali sifat ibunya keluar ketika mengkultwit beberapa tweet tentang bagaimana pendidikan media yang baik untuk anak melalui akun twitter rumah sinema.

Ibu yang penuh kasih sayang, dosen muda yang tenang, kalimat-kalimatnya berbobot, berkacamata,  bersahabat, dan tidak kehilangan jiwa mudanya. Sosok personal yang luar biasa. Nada bicaranya santun tapi tetap memeluk. Cekatan dan tidak bisa diam.

Mbak Firly Annisa ,

Salah satu dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Direktur Rumah Sinema Yogyakarta periode sekarang, adik kandung Mbak Dyna, periang, belum memiliki anak, terampil, seorang pendengar yang sempurna, sahabat yang baik bagi semua orang, murah senyum, dan memiliki suami yang ramah.



Gelar S-2 nya juga ditamatkan dengan predikat cumlaude, bicaranya sistematis tapi cerewet.
Pernah suatu ketika, di sebuah depot somay, saya hampir menangis menceritakan masalah keluargaku kepadanya. Mbak Firly adalah pendengar yang sempurna, suatu saat, anak-anaknya di masa depan pasti sangat menyayanginya dan mentahtakannya dengan hormat.

Mbak Eko Suprati ,

Lulusan ISI Yogyakarta, pengajar di P4TK seni budaya. Seniman yang akademisi. Dari Mbak Eko, saya mendapat banyak sekali pelajaran berharga karena di Rumah Sinema Yogyakarta, hanya dia yang dapat menjelaskan bagaimana dunia ilmiah di mata seniman. Meski matanya sipit, tapi cakrawalanya sangat luas meski kadang disampaikan dengan malu-malu.

Perempuan rendah hati yang tidak kehilangan keperempuanannya dibalik rambut pendeknya. Logat jawanya terasa renyah, tidak malu memakai identitas kedaerahannya demi menjadi dirinya sendiri. Cara berpikirnya sangat saya suka. Yang lebih saya suka lagi adalah caranya memperlakukan semua orang hingga merasa nyaman.

Mbak Bheti (Magdalena Bheti Krisindawati)

Penyiar di salah satu radio rohani. Suaranya cerdas, berantai, dan penuh bunga ala penyiar radio. Badannya yang subur malah membuatnya sangat lincah bergerak kesana kemari, humas abadi rumah sinema, sangat mencintai anaknya yang lucu dan membanggakannya seperti bagaimana seorang ibu seharusnya. Penulis buku "3 Jurus Jitu Jadi MC". Mc berbakat dari sudut jogja.

Mbak Bethi adalah seorang dermawan senyuman yang menyenangkan.

Mbak Nur (Nurhidayati Kusumaningtyas)

Berjilbab, keibuan, dan memang seorang ibu. Kalem tapi hangat, ramah, senyumnya khas dan membumi. Manager program Rumah Sinema, dan masih ingin membantu ketika ia sedang hamil. Sesuatu yang membuatku merasa sangat kecil

Mas Zam-Zam (Muhammad Zamzam Fauzanafi),

Wajahnya pendiam, sekilas terlihat cool dari caranya membawa diri. Padahal, mas zamzam adalah sosok yang cukup jenaka, suka bercanda, dan kadang kelebihan-kelebihan dari dirinya sendiri dijadikannya bahan candaan. Dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada, Mengambil S-2 di University of Manchaster. Salah satu artis akademik lokal karena ia beberapa kali menjadi juri di beberapa festival film besar. Mas Zamzam ini suami dari mbak Dyna Herlina. Entah seberapa beruntungnya Arasy memiliki orang tua seperti mereka.

Mbak Sasza (Koff Azazsa), 

Sama-sama volunteer di rumah sinema. Ia seorang mahasiswi semester akhir jurusan psikologi di UGM.  Untuk perempuan seusianya, ia sudah pantas disebut wanita. Kematangannya dalam memgambil keputusan, ketenangannya menghadapi masalah, dan masalah-masalah keluarga yang ia sembunyikan diam-diam. Sahabat yang baik, dengan tawa yang khas. Orang Jepara, bernama rusia, dan menyukai kucing. Saya yakin, di suatu masa, dia akan jadi ibu rumah tangga sekaligus pengusaha yang disegani.

Mbak Michele (Dewi Kharisma Michellia)

Orang bali, mahasiswa sastra Inggris UGM, bertubuh subur dan penulis kelas wahid. Dia serius bercita-cita menjadi penulis dan bagi saya dia sudah penulis. Tulisan-tulisannya beberapa kali terbit di beberapa media massa seperti koran Kompas dan Koran Tempo. Kata-katanya seperti merangkum dunia. Kepedihan hidupnya ia peluk dan dibujuknya menjadi kalimat-kalimat yang membuai. Dia salah satu aset penulis idealis di Indonesia. Rendah hati, bersenyum adem seperti orang bali kebanyakan.

***

hari ini saya harus mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan berproses bersama lagi di Rumah Sinema Yogyakarta. Di sini saya menemukan warna berwujud keluarga dan semangat. 
Rumah Sinema Yogyakarta adalah salah satu kelopak berwarna emas yang mekar semerbak di jalan setapak jiwaku. 
Bukan hanya ilmu-ilmu yang berhasil kucuri dari kalian. Tapi proses bersama yang kita jalani, yang memberikan kepadaku makna-makna yang bertahta.
Bahwa dalam kehidupan, kita selalu belajar dan belajar menjadi makhluk sosial.
Ketika tua, kita sadar bahwa kita memakai hampir seluruh usia kita untuk mempelajari hanya sedikit saja dari kehidupan.

Terima kasih.
Apa itu cukup?
Tidak. 

Aku juga tidak tahu kenapa ketika aku sampai di kamar setelah menyatakan resign,
Lantas aku mengurung diri dan membenamkan wajahku di bantal berjam-jam.
Menangisi apa yang aku tidak mengerti.
Menangisi waktu-waktu.
Atau menangis karena takut kehilangan sebuah konsep keluarga yang lain.

Terima kasih.
Apa itu cukup?
Tentu saja tidak.