RANAH PALING MERINDU

Dua arus air dari sungai yang berbeda, bisa saja bertemu kembali pada sebuah muara, dan nantinya akan kembali lagi pada pelukan gelombang laut.

Begitulah bagaimana akhirnya aku dapat menemui kembali ibu kandungku setelah hampir sembilan belas tahun yang lalu ikut menghantarnya hingga ke liang lahat. Waktu itu aku menangis menderu-deru. Bukan karena merasa kehilangan, tetapi karena ingin minum susu. Bagaimana tidak? saat itu aku masih berusia sebelas bulan.

Selama dua belas tahun setelah bapakku menikah lagi, aku merasa buta akan keluarga-keluargaku di pulau bangka, tempat ibuku dilahirkan, sekaligus tempat ia kembali menghadap bumi, tanah tumpah darahnya!

Akhirnya aku berhasil menginjak lagi tanah Bangka dengan kedua kakiku setelah aku minggat terlebih dahulu tiga tahun yang lalu. Kemudian mulai melacak eksistensi kabar seluruh keluargaku yang ada di Bangka. Selama ini, eksistensi mereka hanya terwakili oleh kisah-kisah yang digulirkan Amah Susun, Tanteku yang mengasuhku sedari bayi.



Ketika pertama kali pesawat yang kutumpangi mendarat di bumi Bangka, hati ini serasa berhasil memeluk bumi dan seisinya. Seakan-akan aku berhasil menyeberangi jembatan sirothol mustaqim dan memasuki gerbang surga tertinggi. Pramugari yang sudah menua tampak merupa bidadari. Tanah-tanah tandus bekas kerukan tambang timah terlihat seperti sungai-sungai yang mengaliri urat-urat surga.

Rombongan keluarga ternyata sudah menunggu kehadiranku di bandara. Kami saling tatap. Ini peristiwa yang sangat canggung bagiku. Belasan tahun tidak bertemu, mereka adalah harta karun yang tadinya adalah peta-peta buta.

Seorang wanita paruh baya, berpawakan besar, berhidung mancung, bermata mutiara, tiba-tiba memelukku, nafasnya tersenggal, ia mencium kedua pipi dan keningku seperti mencium sebuah piala. Mak Fat. Kakak perempuan Ibuku. Dadaku terasa sesak. Seperti ada timah panas dialirkan melalui lajur-lajur kerongkongan,

Bergantian, seorang wanita berparas keibuan, dengan wajah mendung, memelukku lebih erat. Ciumannya di pipi terasa hujan. Ngah halim, kakak ketiga Ibuku. Seperti ada rindu yang lunas melalui pelukan.

Kemudian Su Nonik, adik perempuan Ibuku juga ada di situ, wajahnya periang, berbinar-binar, banyak cakap, logat melayunya kental dengan akhiran yang menyentak-nyentak. Ia membawa ikut serta anak-anaknya, Windy, Rendy, dan Winni. Sepupu-sepupu yang yang baru kukenal sekarang, di usia nyaris dua dasawarsa. Bang Boy juga ada di situ. Lelaki melayu yang tangkas, yang kuceritakan pada KERABAT YANG DATANG DI SAAT SENJA

Memeluk mereka, seakan memeluk harta karun. Sejenak, aku merasa menjadi kapitan sebuah kapal perang yang menemukan harta terpendam, yang tersembunyi dalam lumpur terkubur. Seperti arus yang menemukan muaranya, merupa musafir menemukan oase di padang gersang, merasa penyamun menemu guru spiritual, merasa tangisan tidak cukup untuk menggambarkan kalimat-kalimat. Itu adalah momen di mana aku merasa Tuhan sangat dekat.

Ranah ini, pulau Bangka, dengan jalan-jalan setapaknya, kebun-kebun sawit yang terbaris rapih di kanan-kiri jalan, kebun lada yang bersembunyi, pendulang timah yang liat dan selegam baja, bebuah kera munting yang keunguan, nyanyian burung ungkut-ungkut yang terbang rendah, pohon-pohon santigi yang mengajak kawanan punai untuk hinggap, orang-orang cina dan melayu yang saling bahu membahu, pantai-pantainya yang seperti kaki surga, distro-distro sederhana yang mereka sebut butik, jembatan dua belas, muara air payau, buah naga, bujang-bujang yang nongkrong di bibir jalan seperti kawanan merak musim kawin, mataharinya yang membara.... semuanya.... semuanya....

Telah kuperam. Ini tanah tumpah darahku yang baru. Dan selamanya Bangka akan menjadi tanah tumpah darahku.