SEDIKIT UANG DI DALAM SEPATU

Bagi saya, Ayah adalah sosok super hero masa kecil kita.
Ayah adalah sosok presiden yang rendah hati. Karena ia adalah seorang presiden yang juga merangkap sopir, tukang kebun, tukang membetulkan genting, reparator kipas angin, sekaligus satpam keluarga.
Raja di atas raja. Raja yang merangkap abdi. Yang tidak akan membiarkan kita kelaparan dengan keringatnya. Yang menganggap dahaga kita adalah percikan api neraka.

Saya juga mengenal sosok Ayah seperti itu. Karena saya memanggilnya Bapak, jadi saya tulis Bapak saja ya di sini...

Bapak sangat pendiam. Kadang saya merasa Bapak itu terasa lebih asing dari pada tukang bubur kacang ijo di dekat kontrakan. Kami tidak bicara banyak. Semasa saya kecil, berdasarkan ingatan yang masih ada, Bapak adalah laki-laki pendiam yang melepas kemejanya sepulang kerja sebelum tidur dan bangun untuk berangkat kerja lagi. Atau kadang-kadang dia menjadi laki-laki pendiam yang mencoret-coret buku catatannya sambil sesekali membenahi kacamatanya yang melorot.

Tapi saya tahu bahwa dia sangat menyayangi saya. Dia yang membelikan saya buku-buku cerita setiap akhir pekan. Penanggung jawab terbesar atas kegilaan saya pada cerita-cerita. Kalimatnya tidak pernah menggambarkan derita, ia bukan laki-laki yang mudah menyerah.

Bapak adalah ksatria di pelosok kesunyian.
Sayangnya ia menikahi seseorang yang menganggap hormat adalah segalanya.

Ya. Ibu tiriku yang 'terhormat'. Atau harus saya panggil bu haji?
Terserah.



Sayang sekali, Ibu tiri saya bukan orang yang dermawan untuk anak-anak tirinya. Sejak SD sampai kelas 1 SMK (sebelum minggat), saya adalah siswa termiskin di sekolah. Padahal bapak orang yang cukup berada, meski tidak kaya raya. Uang saku saya adalah yang paling rendah satu sekolah. Tapi saya selalu menyembunyikannya karena malu. Saya jarang berada di kantin saat jam istirahat karena tidak punya uang. Ketika saya protes kepada Ibu tiri saya, saya malah dimarahi dan dipukuli.

Padahal, di sekolah saya selalu kelaparan. Dan bekal yang Ibu tiri saya bawakan selalu sudah basi atau sesuatu yang tidak saya sukai. Jika saya protes, yang terjadi selalu hal yang sama. Saya dimarahi atau dipukuli. (Sekarang saya punya alasan kenapa badan saya kurus kering)

Saya tahu bapak diam hanya karena mengalah. Bapak bukan laki-laki yang menyenangi konflik. Meski bapak diam, tapi saya tetaplah anaknya, darah dagingnya. Saya yakin hatinya bergetar melihat anaknya teraniaya. Kadang-kadang, tanpa sepengetahuan Ibu tiri saya, ketika bapak berangkat kerja, bapak berbisik saat aku mencium tangannya, "Bapak selipkan sedikit uang di dalam sepatu bapak di rak,". Dengan suara yang pelan sekali. Seperti takut didengar semut-semut.

Bagi saya, meski bapak lebih banyak diam, bapak tetaplah bapak yang peduli.
Bapak adalah kepedulian dalam maze kesunyian.
Pahlawan yang menyayangi diam-diam.
Mengalah dan melunturkan ego sendiri demi tidak terjadinya 'perang' dalam rumah.

Sedikit uang di dalam sepatu itu jumlahnya tidak banyak. Tapi itu membuat saya percaya, bahwa saya tidak sendiri, saya masih memiliki seorang bapak. Berdaya atau tidak berdaya menghadapi istri barunya, menghadapi rasa cintanya sendiri.
Selamat berjuang bapak,
Manusia sederhana yang sedang menghadapi rasa cintanya sendiri. Meski orang yang dicintainya telah merusak hidup banyak orang, telah melukai hati banyak orang.