TERIMA KASIH PAK SOEDJAI KARTASASMITA



Dear pak Soedjai,

Terima kasih pak Soedjai Kartasasmita (konglomerat perkebunan, pecinta dan pelaku fotografi senior di Indonesia).

Pertama-tama, terima kasih untuk buku bersampul merah yang anda berikan untuk saya. Bahannya bagus, tebal, dan akan mempercantik rak buku di kamar kontrakan saya.
Kemudian terima kasih sudah menandatangani buku itu dan merelakannya menjadi milik saya. Buku yang anda tanda tangani kemarin adalah buku pertama milik saya yang ditandatangani pengarangnya langsung di depan saya sepanjang hidup saya. Agak ironi mengingat aku membeli novel-novel karangan bapakku sendiri di toko diskon. Mungkin akan asyik sebenarnya jika memiliki tanda tangan bapakku sebagai seorang penulis di novel karangannya, bukan di lembar-lembar surat izin dan kolom tanda tangan rapor sekolah.



Saya agak canggung bertemu anda, duduk semeja dan makan bersama. Saya kadang suka salah tingkah sendiri jika bertemu orang-orang besar, padahal semua orang itu sama, tidak ada yang besar dan kecil, bahkan nabipun enggan dipanggil 'syaidina' (tuanku) dan enggan pula dikecup tangannya karena merasa setara. Tetapi apa yang anda capai benar-benar menginspirasi saya untuk tetap mengangkat pedang dan bersemangat menjadi martir kehidupan.

Kata-kata mutiara anda khusus untuk saya : "Selamat bercerita, dipa!" akan kekal di dalam benak saya, akan terngiang-ngiang dan telah berkobar sebagai api yang baru. Manusia suka dengan dongeng-dongeng yang indah, dengan cerita-cerita lucu dan retorika yang membuncahkan semangat.

Saya akan tetap bercerita, tentu saja. Karena satu-satunya saat di mana saya merasa menjadi manusia merdeka adalah ketika saya bercerita. Merdeka dari arogansi agama, dari keangkuhan cabang-cabang ilmu pengetahuan, dari kompetisi absurd duniawi dan sebagainya. Saya lelah menjadi makhluk yang obedian. Tapi kadang saya merasa merindukan Tuhan ketika lelah menjadi obedian. Paradoks yang keji ya, pak?


Kemudian agaknya kurang ajar bila saya tidak berterima kasih sekali kepada anda untuk penganugerahan beasiswa yang anda berikan untuk saya dan lima teman saya yang lain. Saya benci mengatakannya, tapi ini memaksa saya untuk mengingat anda seumur hidup.

Sebenarnya saya sedang kehilangan banyak ambisi. Saya sedang malas berbangga-bangga karena menjadi yang terbaik selalu membuat yang bukan terbaik merasa tidak berguna. Saya menyesal menjadi yang terbaik. Betapa bodohnya saya. Menjadi yang terbaik hanya membuat kita bahagia dari buah derita orang lain. Barometer 'pintar' ada karena 'orang bodoh'. Stigma itu yang benar adalah barometer 'merasa pintar' ada karena 'ada orang lain yang merasa bodoh'. Ini bukan paradigma yang berbudi.

Tetapi, berkat penganugerahan beasiswa yang anda berikan, setelah setahun menjadi mahasiswa akhirnya mendapat kesempatan untuk berfoto bersama ibu rektor dan pak dekan. Dan akhirnya kacamata bulat saya yang warna putih ini naik podium sekali lagi.

Bagaimana pun, beasiswa ini menjadi pemacu. Padahal saya justru sedang ingin kehilangan banyak ambisi. Ambisi hanya membuat saya semakin sombong dan merendahkan orang banyak. Tetapi saya tetap menghargai apresiasi bapak di dunia pendidikan seni media rekam. Saya akan terus bercerita dengan hati. Persis seperti moto Fakultas Media Rekam Institut Seni Indonesia Yogyakarta : "Merekam dengan hati,"

regard,
Your big fans