MEMBICARAKAN KESENDIRIAN

Aku melihat seekor burung parkit dengan paruh emas terbang melintasi bukit penuh buku yang menjulang seperti everest, melewati sungai susu coklat dan sempat buang kotoran di sana. Sungai itu dikelilingi koloni pohon akasia dan tupai jelek yang bersingsut-singsut tiap makhluk asing datang. Aku berada di tepian sungai itu, tersenyum dan mencoba meraup sungai susu coklat untuk kujajal rasanya dengan ujung lidahku sebelum aku melihat bayangan diriku sendiri di wajah sungai. Aku yang sangat banyak, membawa mandau, golok, celurit, dan segala benda tajam untuk membunuh, mereka mengejarku dan aku lari tunggang langgang.

Burung parkit dengan paruh emas itu terbang tepat di atasku, tiba-tiba menukik dan menarikku untuk ikut terbang bersamanya. Aku bukan pengidap akrophobia, tetapi aku tidak cukup berani untuk terbang setinggi tujuh puluh ribu mil dan akhirnya aku panik dan terjatuh.

Aku tidak tahu harus mengatakannya sebagai mimpi yang indah atau mimpi yang buruk. Mungkin kedua-duanya. Aku sadar bahwa musuh terbesar dalam kehidupan adalah diri sendiri, seseorang yang harus kita berdamai dengannya. Sayangnya, sebagian diriku tidak menyenangi keadaanku yang menyendiri, kesepian, dan menyedihkan. Ini sangat pathetic. Kadang keadaan jomblo menjomblo selama dua tahun membuatmu merasa ada sesuatu yang salah, hampa, dan membuatmu terpuruk.



Aku juga membenci diriku karena terlalu jujur untuk mengatakan 'aku mencintainya' tiga tahun lalu dan ternyata dewi aphrodite tidak sengaja mendengarnya dan menumbuhkan cintaku padanya di aliran darahku seperti akar bahar yang rumit. Aku punya tiga fakta menyedihkan :
Fakta pertama, aku masih mengharapkannya lebih ramah dan mulai membuka hati
Fakta kedua, dia selalu diam dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali
Fakta ketiga, jauh lebih mudah memahami curhatan kucingku yang cerewet ketimbang mengartikan diamnya.

Sebagian dari diriku yang lain justru bersyukur atas segala yang terjadi. Karena dengan keadaan yang seperti sekarang, sendiri, membuatku lebih banyak berdoa untuknya. Kamu juga pernah merasakannya kan? Kita lebih sering mendoakan seseorang ketika dia sudah tidak menjadi milik kita lagi. Aku jadi lebih menghayati lagu-lagu, punya waktu untuk novel-novel bodoh, dan yang pasti aku punya kesempatan jadi pesakitan indonesia yang kuat duduk sambil makan popcorn dan menyetel film-film bule lewat laptop selama tiga puluh enam jam nonstop. Kamu bisa bayangkan berapa banyak budaya barat yang dapat meracuniku selama itu. Benar, ya, itu menyedihkan sekali.

Tapi, ayolah, harusnya aku sadar. Aku hidup dengan sahabat-sahabat yang menginspirasi, seorang tante yang peduli, kucing yang manja, dan adik tiri yang merindukanku.
Bukankah hidupku sangat sempurna?

Aku tahu gajah tidak bisa melompat, maka aku harus melompat, karena itu kelebihan yang aku miliki dibandingkan seekor gajah.
Aku tahu ikan hanya dapat menyimpan memori selama 3 detik, maka aku harus mengingat semuanya, agar aku dapat selalu bersyukur bahwa aku memiliki hidup yang sempurna. Dengan atau tanpa dia.