WAKTU AKU DI BONTOLOJONG


FOTO ALBUM : WHEN I WAS IN BONTOLOJONG (KLIK DI SINI)

Ini sebuah kisah hebat yang ingin kubagi kepada kalian semua. Sebuah kisah yang kujanjikan sebelum berangkat ke tanah Selebes beberapa waktu lalu. Tapi, maaf sekali aku tidak ingin membaginya terlampau banyak karena suatu saat kisah ini akan menjadi satu bagian besar dalam novelku. Kamu harus membelinya. Karena aku tidak akan bisa menulis cerita ini tanpa hati.

Anak-anak SD INPRES desa Bontolojong, Kabupaten Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan benar-benar membuatku jatuh cinta. Aku jatuh cinta kepada tawa mereka yang mengisyaratkan puisi-puisi. Atau gaya berkelahi mereka dan cara mereka berdamai setelahnya. Tangisan-tangisan mereka sambil menyebut nama kami ketika kami harus berpamitan terdengar seperti mandau dengan mata yang sangat tajam dan memaksaku untuk hanyut dalam tangisan mereka.



Ini bermula ketika UKM Kailmas (Karya Seni Mahasiswa Seni) ISI Yogyakarta mengirim 4 delegasinya termasuk Aku bersama Mas Roci, Mbak Zury, dan Mbak Winda untuk mengikuti Pengabdian Masyarakat dan Aplikasi riset yang diadakan Ikatan lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia (ILP2MI) dan Universitas Muhammadiyah Makasar. Kegiatan ini dilaksanakan di desa Bontolojong, Bantaeng, Sulsel.

Kami terdiri dari mahasiswa-mahasiswa utusan18 kampus berbeda dari seluruh Indonesia. Ada yang dari Padang, Malang, Bandung, Jakarta, Jogja, dan masih banyak lainnya. Karena latar belakang kami berbeda-beda, kami mengabdikan diri dengan cara yang berbeda-beda. Sebagian membagikan ilmunya di bidang pertanian pasca panen kepada masyarakat sekitar, sebagian besar lainnya mengajar di Sekolah dasar yang aku sebut tadi.

Aku tidak tahu harus memulai dari mana, tapi kami cukup diterima oleh masyarakat setempat. Mungkin terutama juga kami membawa manusia sekaliber Mas Roci. Komediawan sejati, mungkin yang terbaik yang pernah kutemui. Dia memainkan peran yang hebat baik dalam aksi panggungnya di Teater maupun kehidupan nyata. Ia benar-benar memiliki bakat alami untuk mengatur tensi dramatik satu situasi.


Di desa tersebut, kami menginap di rumah penduduk setempat. Yang menarik, di desa ini rumah-rumahnya masih berbentuk rumah adat bugis, rumah panggung dengan ornamen atapnya menunjukkan strata kesukuannya. Perhatikan undakan yang ada di dalam segitiga atap rumah, semakin banyak jumlah undakannya, semakin bangsawanlah pemilik rumah. Untuk karaeng dan andi (bangsawan), biasanya sampai empat undakan lebih dengan gaya rumah panggung bersusun. 

Kegiatan ini tiba-tiba serasa menjadi wisata budaya yang mengasyikkan juga. Bukan hanya wisata budaya, tapi wisata rohani. Pengalaman yang luar biasa dan memanipulasi konstruk pikiran-pikiranku yang lama bahwa liburan jauh itu melelahkan. Tidak, ternyata mengasyikkan. Dan di sini kami bisa berlibur, belajar, sambil mengabdikan diri pada masyarakat. Sekali lagi, anak-anak desa bontolojong itu adalah guru spiritualku yang berefek besar.

Meski aku yakin, orang-orang di Bontolojong itu semuanya terlahir untuk menjadi petani yang hebat. Bahkan lebih hebat dari sarjana pertanian sekalipun. Aku yakin. Daerah ini agraris, mereka tumbuh dengan bertani, hidup dengan bercocok tanam, mulai anak-anak sampai manula. Mereka menikmati ini, dan tanah mereka suburnya bukan main. Sawi dan Gubisnya gemuk-gemuk, tomat dan wortelnya berlimpah ruah seperti yang ada di dongeng-dongeng. 

Anak-anak di sana terhitung sangat bandel dan susah diurus. Memang. Tapi bagiku, mereka itu anak-anak sejati. Bahkan kakak-kakak yang memarahi dan membentak mereka hanya agar mereka diam sementara harusnya iri kepada anak-anak itu. Kejujuran mereka terhadap diri sendiri dan perasaannya adalah harta yang paling tidak bisa ditakar seorang manusia. Mereka berlarian, berkelahi, main kelereng, dan... ya... mereka susah diatur. itulah anak-anak.

Di sini lah aku melihat seni sebagai pendekatan paling efektif untuk mengatur satu kelompok. Kita harus memainkan seni peran untuk menguasai satu forum, dan Mas Roci adalah kampiun di bidang ini. Kita akan begitu saja dilupakan ketika membentak, berteriak, dan kelihatan lepas kendali. 

Misalnya anak-anak itu, anak-anak itu memiliki energi yang luar biasa, dan cara yang baik membuat mereka diam bukan dengan membentak mereka untuk diam, tetapi mengalirkan energi-energi itu ke dalam sesuatu yang menarik dan berguna. Akan lebih mudah menyuruh monyet liar memindahkan sepuluh ribu tutup botol dari satu wadah ke wadah yang lain dari pada menyuruhnya diam. Begitu analoginya.

Rasanya, sampai saat ini air mata mereka masih tersisa di bahuku. Sisa dari pelukan-pelukan paling tulus yang pernah kuberikan. Suatu saat aku akan kembali ke sana, menginap di salah satu rumah anak-anak lucu itu dan membuat film. Ini akan menyenangkan. Aku yakin.