KROMO INGGIL SEBAGAI RANTAI KOMUNIKASI VERBAL BAGI ORANG JAWA

Saat saya masih dinaungi langit Jakarta beberapa bulan lalu, tepatnya saat magang di institusi regional sekelas SEAMEO SEAMOLEC, yang daya jangkaunya mencakup seluruh Asia Tenggara, ada satu konklusi menarik yang Saya dapat disana. Orang Jawa yang berada disana, lebih bangga bisa berbahasa Inggris daripada lihai bahasa jawa halus atau kromo inggil. Bahkan jika bicara dengan orang sekitar yang juga orang jawa. Mungkin saja dalih bahwa orang Jakarta tidak mau disebut orang Jawa walau Jakarta jelas beralaskan pulau Jawa bisa dipakai. Bisa juga dengan alasan umum yang biasa dipakai anak muda kalau bahasa kromo inggil itu nggak gaul, sudah ketinggalan zaman, atau bahasa kakek gue. Mungkin itu berita lama di tanah Ibu kota, apalagi Jakarta punya kebudayaan sendiri yaitu budaya betawi. Sehingga orang-orang jawa yang tingal disana tanpa atau dengan kesadaran mereka, mengalami adaptasi kultural dasar mulai ngomong lu-gue sampai pisuhannyapun berbau Jakarta. Itu faktor environment.

Tapi, syaraf penasaran Saya semakin terusik waktu kebetulan Saya ditugaskan ke Malang dan menetap selama 3 bulan. Di sana semua serba baru, sehingga adaptasi harus Saya lalui mulai dari awal, mulai gaya hidup, harga kopi, juga orang-orang yang Saya hadapi, semuanya renew. Saya berdarah Jogja-Bangka, tapi lahir dan tumbuh di Surabaya, kota yang akar budayanya sudah tergerus budaya kapitalis. DI Surabaya atau Jakarta, dua kota besar yang keduanya Saya temui orang-orangnya lebih bangga bisa berbahasa inggris daripada bisa berjawa halus. Bahkan kebanyakan berhitung satu sampai sepuluh dalam bahasa kromo inggil saja mereka kagok, apalagi mengaplikasikan bahasa Jawa halus di kehidupan sehari-hari.
Sebelum ini Saya juga skeptis apa guna kromo inggil sekarang ini. Teman sebaya Saya sedikit sekali yang bisa menguasainya utuh. Namun tanah malang memberikan Saya sedikit informasi yang awalnya saya skeptisi Itu. Saat menghadapi orang-orang yang baru disini, Saya menggunakan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi , dan staf SEAMOLEC yang ditugaskan bersama saya di sini, yang kebetulan Ia seorang Blitar, lebih acap menggunakan bahasa Jawa. Tergantung kepada siapa Ia berkomunikasi. Karena dalam bahasa Jawa yang kita tahu, ada perbedaan penggunaan bahasa, tergantung siapa lawan bicaranya. Saya mulai melihat ada perbedaan antara Saya dan kawan Saya ini yang menggunakan kromo inggil. Kawan Saya itu lebih mudah berbaur dengan orang-orang yang sama sekali belum kami lihat sebelumnya. Saya terus bertanya-tanya, apa yang beda?
Ya, bahasa kromo inggil yang dipakai itu yang membuat berbeda. Bahasa warisan luhur kita itu mencitrakan rasa hormat kepada lawan bicara, karena kromo inggil memang digunakan untuk orang yang dihormati, sehingga jika kita memakainya kepada siapapun orang jawa, pasti lawan bicara kita itu merasa dihormati.
Bahasa ini juga memaksa kita membuat semacam kedekatan kultural karena merasa sama-sama orang Jawa. Dengan itu, ruang privat lawan bicara akan semakin sempit dan keakraban lebih mudah digapai. Apalagi, jika yang memakai kromo inggil itu orang muda seperti kami, terdengar spesial karena memang langka. Sudah sangat jarang anak muda dapat berbahasa daerah. Seperti yang saya sebutkan diatas, teman yang berumuran sebaya Saya, yang sekarang berumur 17 tahun, hampir satupun tidak ada yang bisa berbahasa jawa halus. Eksistensi bahasa Jawa kasar berikut pisuhan-pisuhannya masih kuat memang. Karena itu menjadi bahasa sehari-hari.
Namun tidakkah Kita berpikir jika fakta tersebut merupakan kemunduran sosial yang komperhensif? Tidakkah kita mulai berpikir itu berarti budaya hormat kepada yang lebih tua terkikis secara terang-terangan? Akankah bahasa jawa halus sebagai warisan leluhur punah seperti halnya bahasa latin? Ini aneh. Karena dianggap remeh.
Bukannya sok primodialis atau semacamnya, tapi kita lihat saja di lapangan, di dunia pendidikan, bahasa daerah tidak masuk kurikulum di hampir setiap institusi pendidikan. Kalaupun ada, sangat jauh dari prioritas. Bahasa asing lebih diutamakan. Memang harus diakui jika bahasa inggris pengaruhnya lebih besar di semua bidang. Tapi ini bukan soal menginternasionalkan pendidikan (atau sok intrnasional). Ini soal identitas, ini soal warisan tak ternilai budaya negeri ini. Kenapa rakyat Indonesia marah ketika lagu rasa sayange, batik, reog, hingga pendet diklaim negeri tetangga? Menjaganya saja malu! merasa nggak gaul! jadi jangan salahkan jika ada budaya lain yang terhempas.
Jika tidak kita jaga mulai sekarang, bukan mustahil bahasa jawa halus diklaim negri lain. Atau kemungkinan buruk lainnya,bangsa Indonesia harus mendatangkan ahli dari luar negeri untuk budayanya sendiri, karena antusiasme dunia luar terhadap budaya kita lebih tinggi. Jadi tidak menutup kemungkinan jika pada nantinya orang luar negeri lebih menguasai budaya kita.
Diluar itu semua, kromo inggil merupakan rantai penghubung paling kuat bagi orang jawa untuk membaur, untuk mengakrabkan diri. Dan sayangnya, itu sekarang hanya berlaku untuk orang yang sudah berumur dan merasakan masa dimana kromo inggil belum terlalu dekat dengan kepunahan.
Apapun alasannya, sebagai remaja jawa dimanapun berada, jangan pernah merasa malu memakai bahasa Jawa halus, jangan pernah hiraukan jika ada komentar miring seperti nggak gaul dan lain-lain. Jangan sampai generasi kita yang menjadi titik putusnya rantai budaya yang berabad-abad dijaga. Andaikan semua remaja sekarang mengerti, efek baik kromo inggil yang Saya paparkan sebagai rantai komunikasi verbal yang membuat kita lebih mudah akrab dan diterima dilingkungan kita di Jawa, pasti akan baik.