Senyum Ikhlas dan Saus Rahasia

Pak Eko, petugas kebersihan yang bertugas memungut sampah di komplek tokoku, sudah satu bulan tidak kelihatan. Sampah menumpuk di garasi toko-toko dan rumah warga. Tetangga-tetangga terdekat tidak mengetahui keberadaannya. Konon, Pak Eko sedang sakit.

Setelah beberapa saat tidak kelihatan, orangnya nongol juga. Dia mengetuk-ngetuk pintu kaca tokoku dengan topi warna hitam yang selama bertahun-tahun aku melihatnya tak pernah lepas dari kepalanya.

"Katanya sakit pak? Sakit apa?" Tanyaku.

"Asam lambung mas, sampe nggak bisa ke mana-mana, di rumah saja,"

"Seperti dokter oz?"

"Seperti dokter oz." ia mengangguk.

***

Sudah sekitar tiga minggu, Uchy, tunanganku, tinggal di Jogja.

"Kamu harus lulus," ia mengulangi kata-kata itu seperti mantra, seratus kali sehari.

Perempuan ini tak pernah kehabisan cara untuk membuatku jatuh cinta kepada seluruh hal yang ada padanya. Karena, pada akhirnya cinta bukan tentang otak yang super pintar atau bakat yang super tangkas. Cinta adalah tentang keseimbangan, tentang hidup, dan tindakan-tindakan yang mendefinisikan cinta itu sendiri.

Ia memutuskan untuk tinggal di Jogja sementara waktu supaya aku bisa terbantu dan punya waktu untuk menyentuh skripsi yang sudah hampir jamuran (literally). Bahkan lembar terahir yang kuberikan ke Bu Endang, sudah ketumpahan kuah bakso.

Keikhlasana Uchy yang mana yang bisa aku dustakan? Tidak ada.

Perempuan ini, membawa kehidupan yang sebelumnya aku tidak miliki. Ia menuntutku untuk progresive di hal-hal yang tadinya aku tidak peduli, seperti skripsi, dan keluarga. Yang aku heran, ia selalu punya cara untuk menuntutku tanpa paksaan. Dan tentu saja, ia tidak asal menuntut "Kamu harus gini, kamu harus gitu" tanpa solusi, malah, ia membawa dirinya ke dalam hidupku, berusaha bersama menata kehidupan di saat yang akan datang.

***

"Aku kok pengen hotplate ya," Katanya.

"Ya ayo, maem hotplate," jawabku.

Kalau sudah seperti ini, aku tahu beberapa detik kemudian, Uchy akan melontarkan pertanyaan paling sulit di dunia.

"Kamu pengen makan apa?"

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab singkat "pengen maem hotplate,"

"Hiiih mesti ikut-ikut,"

"Lah, kamu kan pengen hotplate, emang kenapa sih kalau aku pengen nurutin kamu?"

"Kalau kamu turutin terus nanti aku jadi gembul,"

***

Akhirnya, setelah tidak menemukan opsi lainnya, kami memutuskan untuk makan di tempat makan yang penyajiannya pake hotplate. Itu pun masih harus melewati perdebatan panjang.

"Maem hotplate di mana?" tanyaku sambil nyetir motor.

"Terserah," Ok, here we go.

"Lah, di mana? di Galle?"

"Hmmm... chinese food biasanya pake hot plate gitu, deket UGM ada kali ya?"

"Boleeh..." jawabku singkat.

"Atau yang lain?" - huh dasar labil.

"Emang di mana lagi?"

"Eh, apa nyoba itu, Pepper Lunch KW?"

"Boleh deh, yok,"

Akhirnya kami menuju depannya mall Galle di jalan Sagan. Tempat semacam Food court gitu. Ternyata, si Pepper Lunch KW ini namanya Plate O. Mirip-mirip Pepper Lunch tapi harganya jauh lebih murah, 1/3-nya.

Aku tidak tahu apa yang membuat (surprisingly) Pepper lunch kw ini rasanya enak banget. Apakah kombinasi mentega, hotplate, dan bumbunya yang sedap, atau karena di depanku duduk seorang perempuan yang sampai saat ini aku masih sulit membedakannya dengan bidadari di dongeng-dongeng jaman dulu.

Ketika sudah habis kulahap itu nasi mentega, telur setengah matang, dan potongan lezat daging sapi di atas piring mendidih, eh, baru baca ada sign "Segera aduk dengan saus rahasia yang ada di atas meja". Sial! Aku tengok-tengok, ternyata hanya meja kami yang tidak ada saus rahasianya...

Waduh, rasanya eksistensiku belum sempurna kalau belum makan pakai saus rahasia di tempat makan ini.

Sama seperti eksistensiku tak akan pernah sempurna sebelum menikahi Uchy. Karena aku tahu, dia selalu punya resep rahasia untuk menjadi istri terbaik.

Comments