Di Hadapan Sang Ibu


Bismillahirrahmanirrahim...

Halo, Ibu.
Permintaan maaf dan rasa hormat tertinggi kuhaturkan kepadamu pada kunjungan kali ini. Beberapa tahun aku tak dapat mengunjungimu. Hari ini aku datang untuk membersihkan tempat beristirahatmu dari daun-daun kering, mengguyur tanah makammu dengan air supaya sejuk, dan berdoa di hadapanmu. Maafkan anakmu yang terkadang lalai mendoakanmu.

Anak lelakimu kini sudah dewasa. Duapuluhempat tahun usianya. Begitu cepat ya waktu berlari?

Aku ke sini bukan untuk meratapi cinta lama yang gagal. Aku ke sini untuk meminta restu. Anak bujangmu hendak memulai hidup baru. Kubawa seorang perempuan yang sama-sama pernah melalui cinta lama yang gagal. Sepertiku.

Kata seseorang yang pernah kukenal "Memilih pasangan itu seperti memilih sepatu. Kalau tidak cocok, jangan dipaksa. Kalau salah ukuran, bikin sakit ke depannya,". Memang benar, bukan? 'tidak cocok' bukanlah hal kecil. Terlebih lagi jika sama-sama berpura-pura cocok selama bertahun-tahun. Perpisahan memang berat. Tetapi akan lebih berat jika hidup selamanya dalam bingkai ketidakcocokan. Seperti kaki yang sesak jika memakai sepatu salah ukuran. Melepaskan sepatu yang salah ukuran supaya kaki dan sepatunya sama-sama tidak sakit terus menerus adalah hal yang bijak.

***

Perempuan yang kubawa ke hadapanmu bernama Suci. Teman satu kelas di perkuliahan. Kami pernah dekat di semester-semester awal. Meski kedekatan itu tak pernah dilanjutkan sebelumnya. Sesudahnya, kami sama-sama menjalani hidup masing-masing. Menghilang satu sama lain. Jarang sekali bertegur sapa.

Kami dipertemukan kembali dalam keadaan sama-sama retak. Dan begitulah mungkin cara alam semesta berkonspirasi mempertemukan kami. Jalinan kasih ini kami mulai dengan baik. Tidak satu depa pun kami berniat menyakiti siapa pun. kami bertemu dalam keadaan sama-sama sendiri. Bertemu dan saling melengkapi.

Banyak hal-hal ajaib yang tak pernah ku mengerti. Hingga kami sampai ke titik ini. Ia memperkenalkan kembali kepadaku konsep keajaiban yang sudah lama tak kupercaya. Karenanya, aku jadi lebih sering berdoa.

Aku ingin menampung doa dan restu sebanyak-banyaknya. Aku ingin memulai hidup baru tanpa dendam. Aku ingin membakar dendam di halaman belakang. Aku tak ingin jadi tokoh jahat dalam hidup siapapun. Meskipun aku mempersilahkan kepada siapa saja berseru kepada dunia tentang betapa hancur atau betapa kuat mereka menghadapi kehancuran itu.

"Kamu berhak bahagia," katanya.

Kata-katanya tampak sederhana. Tapi dalamnya luar biasa. Ia pendengar yang baik. Ia memahami bahwa selama bertahun-tahun, aku merasa tak pantas bahagia, aku terbiasa tak bahagia setelah Bapakku menikah lagi. Ia menuntunku supaya memaafkan. Supaya bahagia. Karena aku juga berhak bahagia. Ia adalah petualang besar yang dengan penuh kebahagiaan mengajakku pada petualangan-petualangan besarnya. Maksudku, petualangan-petualangan besar kami.

Di hadapan tempat beristirahatmu, sekali lagi, mohon doa restu.

Comments