SURAT DEVIAN KEPADA KENANGAN

Di sudut yang sama, di waktu siang



Untuk kenangan dan pintu-pintu yang berbohong,


Aku bukan laki-laki yang piawai merangkum hujan. Aku bukan atlet yang terkenal di universitas, aku bukan siswa terpandai di kelas, dan kemampuanku berkelahi hanya setingkat satpam mall yang baru lulus magang. Aku juga bukan laki-laki kekar yang dielu-elukan segerombolan gadis labil bergincu di kantin sekolah ketika aku berjalan melewatinya. Tidak sama sekali.

Aku bukan laki-laki kampiun. Tetapi ingatanku punya cukup kaki untuk mengejar kenangan. Aku sanggup mengingat apa pun yang kau katakan, kau isyaratkan, dan kau pendam. Aku juga tidak pernah lupa bagaimana kamu memperdebatkan cara makan kita yang berbeda saat makan pecel lele. Aku senang caramu mendebatku penuh senyum. Dengan memberiku senyum semegah itu, aku tidak peduli apa kamu benar-benar serius mendebatnya atau hanya bercanda.



 Kamu dengan keras kepala memberitahuku bahwa pecel lele lebih nikmat jika sambalnya dibiarkan utuh di sudut piring, kemudian kamu mencocolnya manual dengan nasi dan suiran daging lele yang masih hangat. Kamu menertawakan caraku yang selalu mencampur sambal dengan nasi sampai rata. Sejujurnya, sekali lagi, aku tidak peduli mana cara makan yang paling nikmat. Saat itu aku hanya peduli dengan mata sayumu yang tajam mengamati hal-hal. Di setiap kedipnya, aku menyerap ribuan proton energi yang membuat seluruh energi jahat bersimpuh dan bertaubat.

Ya. Kamu ingat bianglala mini yang kita naiki setelah makan pecel lele waktu itu? Aku suka dengan lagu yang menyanyi melalui pengeras suara di sudut-sudut tempat itu. Judulnya "To be With You", lagu milik Mr.Big yang aku hapal liriknya. Kamu bilang bahwa saat itu aku sudah milikmu dan aku boleh melupakan lagu itu. Sepuluh detik kemudian kita menertawakannya. Kamu memang jago dalam memanajemen sebuah konflik menjadi lelucon konyol. Aku rasa kamu berbakat menjadi duta besar suatu hari nanti.

Hari ini, aku sengaja menyudut di tempat parkir sebuah mini market, tempat pertama kali kita bersalaman secara resmi, yang kita janjikan pada malam sebelumnya melalui pesan pendek yang malu-malu. Aku masih ingat cardigan warna coklat mudamu, atau botol air mineral di tangan kananmu. Kamu sering membawa air putih. Aku perhatikan itu melalui pengintaian diam-diam sebelumnya. Aku tidak masalah jika ada masalah dengan urinitasmu, tapi itu akan membuatku sangat khawatir.

Mini market ini telah banyak berubah. Pemiliknya telah merenovasi dan mengganti urutan raknya. Saya benci mereka meletakkan kulkas tempat aku biasa mengambil susu kemasan di bagian belakang ruangan. Itu merepotkan. Ya, banyak hal-hal yang berubah, kemudian orang dibiarkan kalang kabut karenanya, seperti takdir, nasib, tujuan.

Kadang aku merasa bodoh harus sering ke tempat ini hanya untuk memandang kenangan. Harusnya aku memandangnya seperti buku lusuh penuh sarang laba-laba dan membakarnya. Tapi aku bukan laki-laki pendendam, aku bisa memaafkanmu karena telah memaafkanku.

Ah, sudahlah, aku benci permintaan maaf menyaru benang rumit. Maaf hanyalah sebuah diksi yang tercantum pada kamus besar bahasa indonesia dengan beberapa sub terjemahan. Pengalaman merelakan adalah pemberian maaf terbesar yang bisa dirasakan oleh jiwa, dan membiarkan rasa cemas menjadi penggalan roman picisan adalah permintaan maaf yang bijak. Jika sistemnya tidak berjalan baik, rasa maaf akan menjadi dendam, dendam adalah beban, dan beban sangat tidak nyaman untuk dipelihara. membuat pinggulmu sering sakit.

Hari ini aku membacamu lagi melalui pintu-pintu yang setengah terbuka. Dan aku benci pintu-pintu itu bohong kepadaku. Mereka tidak benar-benar terbuka, hanya setengah terbuka dan membiarkanku masuk, tapi tidak meminta. Pintu-pintu itu sudah berdusta karena kebisuannya. Aku membencinya.
Perkenankan, aku tidak membenci seperti orang bermain tamiya. Aku tidak bermain-main dengan kebencian.

Hari ini aku membiarkan pintu-pintu minimarket itu setengah terbuka (atau setengah tertutup?), dan meninggalkannya demikian dalam kedustaannya, keangkuhannya, kemarahannya.


Jangan lupa gosok gigi,
Devian, laki-lakimu yang hilang

*Surat ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan fisiologis, sosiologis, atau jalan cerita, nikmati saja sebagai sebuah penghormatan kepada kalimat-kalimat.