HAMPA YANG PALING AMAT

Di kotaku, pada tanggal entah

Untuk Ibu,

Saya membaca lagi suratmu kepada Atok, tertanggal dua puluh tahun yang lalu. Saya dapat merasakan getirmu, tegarmu, dan ketakutanmu. Kamu tidak pernah menyerah dengan kepala dan alis yang sudah gundul oleh kanker akut. Dua puluh tahun sudah ibu meninggal, masih bisa saja mengajariku perihal sesuatu. 

Bu, ingin sekali saya menjalani hidup mainstream seperti manusia pada umumnya. Lahir, sekolah, kuliah, bekerja, bertemu seorang gadis, menikahinya, lalu punya anak darinya, punya cucu, kemudian meninggal dengan damai dan pemakaman saya penuh dengan keturunan saya yang pintar-pintar. Tetapi simpul hidup yang diarahkan Tuhan (kalau ada) mengatakan sebaliknya. Plot hidup saya memang didesain untuk tidak mainstream arahnya.


Tumbuh dewasa begitu menyakitkan dengan cara seperti ini. Ini tahun ke empat saya hidup sendiri. Di satu titik,  kadang saya merasa benar-benar sendirian. Ketika saya merasa benar-benar sendirian, saya ingin menangis sekuat-kuatnya, dan saya benci jika saya disalahkan atas itu. Saya kehilanganmu di usia sebelas bulan, kehilangan kehidupan dan senyuman di usia tujuh tahun ketika bapak menikah lagi, lalu kehilangan kakak di usia empat belas tahun, kehilangan rumah di usia tujuh belas tahun, kehilangan teman diskusi terbaik seumur hidup saya di usia sembilan belas, dan kehilangan musuh terbesar di usia yang sama. 
Di titik ini, saya merasa berada di ambang kehampaan yang amat, di mana segala definisi pun tak punya kaki. Saya harus ke mana? Harus memelukmu? Menangis di pangkuanmu? 

Saya benci kehilangan. Maka saya mencoba untuk tidak dekat dengan terlalu banyak orang. Saya tumbuh di dalam rumah yang seperti penjara, dibesarkan dengan kasar, dan dikurung oleh sipir penjara yang menyalahkan segala hal. Bapak menikahi orang yang salah. Sepuluh tahun saya diperlakukan seperti penjahat, diberi makan seperti orang miskin, dan dipukuli jika protes.

Maka saya berevolusi menjadi penyendiri yang tidak bahagia. Saya mudah merasa bersalah, sekaligus mudah menyalahkan. Saya takut ketika sudah lulus kuliah saya menjadi kritikus. Itu akan menjadi kutukan yang besar.

Saya ingin menjelaskan bagaimana kosong itu terasa bu. Seakan saya sendirian berada di suatu ruangan paling kedap suara, tanpa sudut, dengan kaki dan tangan diborgol dan kuncinya ditempel dengan lem alteco di dahi saya. Sendirian, terpojok, gelap, dan tidak punya jalan keluar. 
Dari sini lah saya paham, bahwa seorang ibu adalah tempat melarikan diri yang terbaik. Ibu adalah kaki yang membuat kita bisa berlari, sedangkan saya kehilangan kaki sebelum saya bisa berjalan.

Baru kali ini saya merasa sesendiri ini. Saya merasa semakin terpasung. Dan saya benci disalahkan karena saya merasa terpasung. Saya benci wajah-wajah menyalahkan, karena wanita yang bapak nikahi sudah menunjukkannya seratus sembilan puluh delapan macam. Saya benci disayangi dengan cara yang memposisikan saya sebagai penjahat.

Hari ini, saya merasa tidak sendiri. Suratmu membuatmu terasa hidup. Dan saya ingin menangis di pelukanmu.

Anakmu,