LARAT SENDIRI

Meski pagi-pagi telah bersekutu dengan pelangi, langit tetap saja hampa baginya. Tak ada artinya selain langit bersih berwarna biru muda dengan awan-awan bodoh yang memeluk langit umpama benalu. Adalah setangkai dendrobium phalaenopsis di tengah kebun lada yang kesepian. Bersingsut-singsut masai sendirian. Ia menyumpahi codot-codot yang tak tahu diri memakan mangga-mangga milik Pak Haji di kebun tetangga, Ia juga menyumpahi tanah, rumput, bahkan udara. Tidak luput lebah-lebah sok akrab yang bernafsu turut disumpahinya secara seksama. Bajigur semuanya.

Ia berasal dari bibit yang diterbangkan angin sore, termain-main di angkasa, dicubit-cubit gemas koloni walet lantas terjun bebas di tengah kebun lada yang gersang. Beberapa sudut tanahnya bergemeretak, tulang belulang kancil dan curut bergeletakan sekenanya di sangkar-sangkar jebakan. Ia tumbuh menjadi dendrobium phalaenopsis dewasa. Kemudian menyumpahi lagi keterbetasan anatominya yang tidak bisa melihat ke arah belakang, dimana matahari terbenam, melambaikan tangan tanda lelah telah memandikan bumi selama tiga belas jam.

Manusia-manusia udik itu mandi, buang air besar dan mencuci gelas dari air kali yang sama. Sambil tertawa-tawa pula. Apa Mereka bahagia dengan menjadi melarat sedangkan pemerintahnya bersenang-senang ke luar negeri pakai duit rakyat? Batin dendrobium phalaenopsis menggalau sendiri. Ia tidak punya teman untuk sekedar menggalau, Ia tidak punya jari untuk mengetik status facebook, meskipun Ia sangat mengerti bahwa dunia tidak selalu perlu tahu apa yang Ia lakukan. Ia hanya ingin membaginya, Ia takut sendiri.



Ketika Ia berfotosintesis, daun-daunnya serasa mengerut hangat. Lega. Entah oleh apa. Bukankah wajar terkadang Kita tidak mengerti kenapa Kita harus merasa lega dan sebagainya. Manusia memiliki otak, tapi mereka berpikir jika perasaan itu timbul dan tumbuh di dada. Alangkah dungunya. batinnya lagi. Bukankah perasaan berada di otak? Jutaan saraf dan neuron yang membentuk otak lah tempat dimana kesal, marah, senang, gembira, bergemuruh umpama guruh. Hormon-hormon bodoh yang membuat kita jatuh cinta dan merasakan nafsu. Ah, Manusia, maksudku, bukan Kita. Aku hanyalah dendrobium phalaenopsis.

Ia belajar dari langit, meski mengumpatinya tiap waktu. ia belajar dari awan, meski Ia menggunjingnya selalu di dalam hati. Ia belajar dari rerumput, meski Ia membodoh-bodohkan Mereka ketika bersorak disaat hujan.

Ia merasa sepi, Ia merasa langka, Ia merasa istimewa, tapi tak berguna. Alangkah durjananyakah? Ia tidak bisa memeluk langit seperti awan, apa karena itu Ia mencacinya disetiap menit-menit yang dicuri  pagi? Ia angkuh berdiri sendiri di tengah kebun lada, tidak seperti rumput yang berhambur macam kawanan pindang.

Senja menjadi indah. Indah yang bagaimana? Tidak tahu. Indah saja. Tanya dendrobium phalaenopsis kepada dirinya sendiri dan Ia berikan sendiri jawabannya.

Cinta adalah absurd bukan dua. Cinta tidak bisa mencumbu. Yang mencumbu adalah testosteron dan estrogen. Apa cinta datang dalam sepuluh detik, delapan menit, atau tiga hari? Bedebah. Cerita bohong semuanya.

Dendrobium phalaenopsis berpikir kembali, Ia tidak merasakan cinta. Hanya lebah-lebah yang sok akrab yang mengantri untuk mencumbunya. Di darat bumi yang bebas tak terperikan. Ia mencintai dirinya sendiri, mencumbu dirinya sendiri, kemudian berkembang biak.

"Aku iri dengan amoeba. Dia hanya perlu membelah diri untuk mendapatkan teman," tapi sirna ditelan hujan. Kata-katanya tak terdengar siapa dan apa. Dia sendiri. Dan dia menikmati kesendirian-kesendiriannya seperti petani tembakau menikmati kemarau.

Ia sendiri dan Ia larat sendiri. Atau tepatnya merasa larat sendiri.