DI BAWAH PANJI-PANJI SARASWATI

Penerimaan resmi mahasiswa baru oleh senat Institut Seni Indonesia Yogya Senin lalu menjadi sebuah genderang yang mengawal beberapa cahaya menuju tekak-tekak kehidupanku. Versi  Bapak Anusapati (Pembantu Dekan 1 FSMR ISI Yogya), Kami mesti pandai-pandai bersyukur, tersebab angkatan Kami adalah yang pertama diterima secara resmi oleh rektor dan senat kampus sejak akhir sembilan puluhan. Sewajarnya membuat Kami menegakkan kepala bangga tanpa memperdulikan langit kesombongan yang hanya berjarak dua hasta dari ubun-ubun. Meski secara teknis Kami hanya beruntung. Tak ubahnya memenangkan lotere.

Upacara peresmian dilakukan dengan sangat megah dan memesona. Demi Tuhan, baru kali ini Aku mendengar lagu Indonesia Raya  disenandungkan semerdu itu, sekompleks itu, seelegan itu. Tim orkestra yang digawangi mahasiswa-mahasiswa kawakan prodi musik benar-benar membikin ruangan senyap oleh hikmat. Jari-jari pemain kontra bass yang memetik senar-senar alto menghasilkan harmoni dengan dengan hentakan drum dan getar nada cello. Terdengar indah tak tertanggungkan. Umpama Aku disuguhi suara dari surga tingkat empat, atau bisa juga suara dari Austria, sisa-sisa kemasyhuran legenda musik masa lampau. Begitu juga tatkala Mereka berggotong royong membawakan lagu Himne ISI. Dadaku berdegup-degup. Rasa bangga berdesingan di dalamnya, berputar-putar, tak mau keluar. Sekarang Aku percaya betapa sebuah karya seni dapat menumbuhkan dan membengkokkan sebuah paradigma, bahkan sejarah.

Tidak sampai di situ, Aku menemukan betapa magisnya sebuah tari saraswati yang diiringi dengan sebuah komplotan orang berbaju tradisonal Jawa yang memainkan lagu-lagu yang selaras dengan pakaiannya. Gamelan, gong kuningan, lonceng dan sinden yang mengelok-elokkan lekuk spektrum suaranya membuat suasana semakin mencengkeram, haru, bangga, manis, dan membusung dada.

Tim orkestra di sebelah timur dan tim gamelan di sebelah kiri. Mencerminkan dua kutub yaitu jati diri budaya sendiri dan globalisasi. Tampak dirancang untuk menggambarkan bahwa ISI Yogya tidak terpatron pada satu tiang tapi juga mempertimbangkan banyak multidisplin seni. Karena estetis seni, keindahannya, kecantikan, kemolekannya selalu hanya akan terdapat pada panca indra penerimanya.

Teman-teman baruku di jurusan ilmu Televisi juga membuatku tak kunjung meredup hidup. mengenal Mereka, Aku seperti terlahir kembali, menetas, masih berlumuran ari-ari, kemudian belajar berjalan, berlari dan kemudian merengkuh tujuan-tujuan yang Aku ingin kejar. Teman-temanku berasal dari daerah yang berwarna-warni, bermacam-macam. Aku melihat ISI Yogya seperti semacam "Indonesia mini". Bagaimana tidak, saat dibacakan di concert hall di upacara senat tersebut, dengan seksama Aku mendengar bahwa Mahasiswa baru ISI berasal dari SEMUA provini di Indonesia, tidak ada provinsi yang tidak memiliki duta di ISI Yogya. Aku bertepuk tangan paling keras waktu hal tersebut dibacakan.

Pluralitas selalu memiliki kutub paradoksial. Di satu sisi, perbedaan budaya membuat konflik lebih mudah tercipta, di kutub lainnya,  perbedaan Budaya dapat membuat input knowledge menjadi tak terbatas, Kita dapat belajar banyak budaya tanpa harus berkeliling Indonesia secara fisik. Kelebihan itu menjadi potensi yang luar biasa bagi ISI Yogya untuk menumbuhkan semangat Bhineka Tunggal Ika dalam berbagai macam disiplin ilmu seni.

Seperti yang pernah kusenandungkan, kawan-kawan baruku di prodi TV umpama sampan berlambung kayu terbaik dan terwangi di dunia. Dayung-dayung persahabatan telah terjaga dengan gagah untuk dikayuh dengan semangat-semangat kebersamaan.

Persahabatn kami telah membentuk sebuah fondasi yang kuat nian indah tak terbantahkan. Diam-diam, di sela-sela malam sebelum Aku berpetualang dalam mimpi, Aku menyelipkan syukur-syukur tiada henti.

Aku merasa telah terhindar dari sebuah terma "horor vacui", yang mengisyaratkan bahwa manusia  pada dasarnya takut akan kekosongan dan kesendirian. Aku tidak akan memberi analogi terlalu jauh dengan cave painting atau bukti-bukti yang terlalu tua. Cukup kita mengingat masa-masa SMK (atau sederajat) kita. Atau dalam beberapa kasus, masa SMP cukup relevan untuk digunakan. Pada masa-masa tersebut, Kita merasa pacaran adalah sebuah keharusan, kebutuhan. Padahal kita tak terasa hal tersebut membudaya karena sinetron di Indonesia sangatlah jepang-sentris. Padahal sinetron sangat tidak mencerminkan budaya asli Kita. Begitulah kapitalisme selalu mengesampingkan nilai-nilai budaya demi mengeruk uang.

Nah, saat kita telah sampai usia matang untuk berkuliah, Kita mengalami pergeseran paradigma yang sungguh luar biasa. Beberapa mahasiswa yang berpikir, akan beranggapan bahwa cinta akan tumbuh dalam proses stimulasi yang konsisten dan logis. Bahwa semua love in the first sight adalah sebatas nafsu. Sedangkan cinta adalah proses yang sangat logis. Awalnya Aku selalu menyangkalnya, tapi setelah benar-benar telah menjadi Mahasiswa, aku mulai berteman baik dengan renungan-renungan. Mereka menyita banyak waktuku. Cinta adalah salah satu dasar eksistensi yang sudah ada sebelum api ditemukan, perkembangan dari sebuah problem bahwa manusia takut dengan kesendirian. Cinta ada karena Kita sebagai Manusia pada dasarnya takut akan kesendirian. Sehingga menginginkan hukum timbal balik dari mencintai adalah hal yang sangat wajar.

Sedangkan ketika FRW seperti akan menghilang lagi oleh kesibukan-kesibukannya, dalam sekejap Aku merasa sendirian. Kesepian dan hanya bertemankan malam-malam yang seperti puisi. Bagiku Surabaya memiliki pusara kenangan yang jika diwujudkan dalam sebuah karya fotografi akan menjadi sebuah wujud gila momen terbaik yang pernah ditangkap. Momentum yang ada seperti tak kunjung habis. Bahkan oleh waktu. Ini seperti mempertanyakan apakah waktu diciptakan (?)

FRW memiliki kekuatan astral superior yang mampu mengimajikan kesedihan-kesedihan lewat nada-nada yang dibawa angin dan daun-daun. Kesendirian selalu menjadi momok paling mengerikan yang pernah Tuhan ciptakan. Dan tanpa FRW, Aku akan selalu merasa sendiri.