Terkadang Menjadi Pecundang Itu Seru

Aku sering menjadi pecundang di dalam kehidupanku sendiri. Salah satunya adalah perkara membikin SIM. Tidak terlalu pantas dibanggakan, Aku pada akhirnya dapat memiliki SIM dengan perjuangan yang sarat belas kasihan. Bagaimana tidak, Aku mengikuti ujian praktik lima kali dan lima kali pula Aku tak pernah bisa lulus ujian praktik SIM! Yang pada akhirnya para Polisi baik hati itu dengan iba melihatku yang punya rupa mirip yatim piatu kurang gizi ini dan luluh untuk memberi 'bantuan'.

Banyak sedu sedan dalam membuat SIM yang ingin sekali Aku hikayatkan pada Kalian semua, tak peduli siapa pun Anda, apakah pendidik, mantri sunat, ajudan bupati atau juru takar pom bensin.

Here we go. Pertama kali Aku dihegemoni oleh Tuhan tentang kesadaran akan pentingnya memiliki plastik persegi panjang kecil murahan itu ketika Aku sedang terengah-engah untuk  buang air besar. Nggak nyambung? Memang. Tapi pada akhirnya Aku mencoba jalur haram untuk mendapatkan SIM = menghubungi calo. 


Well, sekarang Aku bisa mengatakan padamu dengan gagah perwira nan perkasa bahwa membuat SIM dengan meminta bantuan pada calo yang bukan polisi adalah sebuah usaha yang tolol. Karena Aku tertipu oleh seorang calo berkumis baplang yang awalnya Aku kira akan memudahkan segalanya.

"Udah, Kamu serahin fotokopi KTP terus bayar 300 ribu ke Saya, tinggal foto saja beres sudah," awalnya Ia mengaku sedemikian rupa meyakinkan. Persis sales panci kurang orderan.

 Aku sih manggut-manggut saja. Fotokopi KTP dan menyerahkan tiga lembar duit seratus ribuan.  Tak lama, si kumis baplang itu masuk ke dalam dan memberikan sebuah map berlabel kepolisian. Masih meyakinkan.  Dan Aku masih manut-manut saja. Belakangan Aku merasa sangat tolol karena baru tahu jika map itu dapat didapatkan dengan mudah di area polres itu. 

"Kamu ke sana, terus tes kesehatan tok, terus balik lagi," nah loh, Aku mulai mengernyitkan alis bertanya-tanya. Jelas-jelas Ia mengatakan  "Udah, Kamu serahin fotokopi KTP terus bayar 300 ribu ke Saya, tinggal foto saja beres sudah,"  . Kemungkinannya cuma dua : Aku secara tiba-tiba terkena penyakit kopok akut atau orang ini berusaha membodohiku. Dalam tahap ini, Aku masih mencoba untuk berbaik sangka.

Ok, Aku ke sebuah ruang tes kesehatan dan hanya ditanya-tanya perihal sakit apa yang pernah diderita. Aku mau menjawab "Saya terserang penyakit sficorkoniken alias penyakit ganteng nggak sembuh-sembuh pak. Bapak jangan takut, penyakit ganteng Saya ini nggak menular kok," . Tapi buru-buru kuurungkan niatku karena tidak mau membuat Bapak ini muntah-muntah.

"Semua 30 ribu, bayar di samping ya," Ia menunjuk ke ruang sebelah. Well, Aku mulai semakin ragu dengan si kumis bedebah itu. Mulai muncul niat untuk menjambak kumisnya pakai catut bulu ketek sekeras mungkin. Kata-kata  "Udah, Kamu serahin fotokopi KTP terus bayar 300 ribu ke Saya, tinggal foto saja beres sudah,"  masih terngiang-ngiang.

Aku kembali ke calo laknat itu dan tebak apa yang dikatakannya?

"Kamu sekarang ke ruang ujian teori  terus ujian teori tok dulu dikit. Yah, formalitas aja lah,"  Ia mengatakannya dengan tanpa rasa berdosa sama sekali. Aku harus antri cukup lama untuk menunggu giliran melaksanankan ujian teori. Aku lulus teori dengan mudah. Kemudian kembali ke si calo kurang budiman itu. berharap tak mendengar kata "tok" atau "saja" lagi.

"Sekarang ujian praktik tok, habis itu foto," Ok, Aku sudah jengah. Sudah tumpas sabarku. Dia beruntung Aku tidak menusuknya dengan sedotan aqua gelas.

"Ini gimana sih Pak?! katanya foto tok! terus tes kesehatan tok! terus ujian teori tok! sekarang ujian praktik tok?! maksudnya gimana ini?" Kataku sedikit membentak. Tak pelak, ternyata kata-kataku yang tidak berkepricaloan itu membuatnya marah. Dia calo senior, anak buahnya banyak. Dari yang mirip giant sampai mirip brutus ada semua.

"Yo nggak ada yang langsung toh mas, mas,"

"Nah awalnya bilang foto tok? ini gimana sih. Ini sama aja Saya ikut ujian normal dong, cuma bayarnya mahal! mbulet gini," amboi, gagah pula bicaraku. Tak sadar si Brutus sudah menggeram-geram.

"Yaudah, batal aja," kataku tegas. Si calo baplang berunding sejenak dengan anak buahnya dan menyuruh si Brutus maju.

"Mana nomer ujiannya?" tanyanya mengembalikan duit tiga ratus ribu rupiahku. Aku menukarnya dengan nomer ujianku. Kemudian secara dramatik, si Brutus merobek-robeknya sampai jadi serpihan-serpihan yang sangat kecil.

"Kamu nggak akan bisa kesini lagi," ancamnya terang. Aku ngeloyor saja pulang karena masih sayang kepalaku.

Ternyata, berita itu menyebar dengan mudah dalam hitungan menit di telinga kaum calo di sekitar polres Sidoarjo. Mereka satu per satu, berbondong-bondong menawariku jasa percaloan. Berharap rejeki rebound dari si calo baplang laknat naudzubillah itu. Tapi setelah apa yang Aku lalui, Aku dengan halus menolak semuanya. (aslinya karena tidak ada yang menawarkan sewa calo bonus gelas cantik sih).

Butuh enam bulan untuk dapat memantapkan nyali lagi dan kembali datang ke polres untuk membuat SIM.  Ini perkara nyawa kawan. Aku telah menjadi buronan resmi para calo. Dan para calo itu, meski pandai berkamuflasi menjadi sosok yang lembut perangainya, tapi aslinya, di balik topeng itu, Mereka tetaplah kriminal-kriminal jalanan, preman berkedok calo, pelanggar hukum, tukang judi, tukang mabuk, dan tak segan berkelahi. Mereka adalah semacam mafia kelas kampung yang memiliki pengorganisasian tersendiri. Orang-orang itu, gemar minum alkohol 85% yang biasa digunakan untuk borok dan mencampurnya dengan sebotol fanta merah,

Bahkan, berkat pengalaman itu, Aku jadi tahu yang mana-mana saja calo, beberapa kukenali dan pernah berurusan denganku hari itu. Beberapa belum pernah bertemu denganku namun Aku sudah hapal bagaimana tindak-tanduk para calo. Mereka terlihat tidak bingung, lebih tenang dan mengajak bicara banyak orang.  Menawari jasa calo.

Setelah enam bulan lamanya berlalu, Aku kali ini memilih jalur kejujuran. Sampai pada ujian teori, segalanya lancar-lancar saja. Mudah sekali. Meski saat ujian teori, satu ruangan hanyalah tiga orang yang lulus dan Aku salah satunya. Aku merasa gagah. Hebat benar diriku.

Kemudian, tibalah saat ujian praktik. Untuk dapat lulus ujian praktik, haruslah melewati tiga rintangan yang menggetarkan. Melihatnya saja sudah bikin saraf jadi tegang. Rintangan pertama adalah track lurus dengan sela sangat kecil, tak lebih dari dua telapak kaki. Di samping-sampingnya dibatasi oleh segitiga-segitiga VLC berwarna oranye cerah. Peserta tidak diperkenankan menyentuh VLC itu, keluar dari track, atau menurunkan kaki.

Pada track kedua, terdapat jalur yang nian berliku-liku seperti jalan ular sanca. Di sudut-sudut tikungan tajam tersebut ada tabung beton yang tidak boleh disenggol. Seperti pada rintangan pertama, peserta tidak diperbolehkan menurunkan kaki dan keluar area.

Track ketiga merupakan momok bagi para pemohon SIM. Rintangan pamungkas yang seperti dipahat langsung oleh iblis-iblis neraka, melingkar-lingkar membentuk angka 8. Peserta diwajibkan dengan bengisnya mengitari track angka 8 dua kali tanpa boleh sedikit pun membiarkan ban motor keluar dari garis. Peserta diberi tiga kali kesempatan untuk melakukan kesalahan. Jika telah melakukan tiga kesalaha, peserta tersebut dianggap gugur dan harus mengulang minggu berikutnya.

Setelah mengambil nomer dada yang mirip nomer dada untuk balap lari, Aku menyadari bahwa ternyata banyak yang menganggap ujian praktik SIM itu semacam DUFAN, atau lomba tingkat dunia yang amat prestisius. Bayangkan saja, diantara pemohon SIM C yang mayoritas anak SMK sederajat dan mahasiswa itu,  tak sedikit yang mengajak orang tua, nenek, kakek, adik, kakak, paman, bibi, sepupu, bahkan pembantu untuk menonton dirinya naik wahana ujian praktik SIM. Sungguh konyol rasanya melihat sanak saudaranya menyemangatinya, memijat-mijat pundaknya, menganalisa setiap rintangan dan memberinya teori-teori bodoh yang tak berdasar.

"Waktu track lurus, Kamu baca ayat kursi tiga kali," Bapak yang ini entah punya SIM C atau tidak. tapi beruntung Ia tidak menasihati anaknya dengan, "Nanti waktu di track lurus, kamu tepuk tangan tiga kali terus ganti giginya pake tangan kanan Kamu,"

"Kalo track zig-zag itu gampang, pokoknya waktu tikungan, kamu belok," nah lo, nenek-nenek pake i-pad juga tahu itu pak.

"Pokoknya Kamu jangan menyerah nak, Kamu tetao tenang," baik sekali Ibu ini. Namun si Anak tampak tidak nyaman dengan perlakuan over ibunya. Wajahnya seperti belum pipis lima hari.

Ternyata, ujian praktik itu juga tidak semudah yang Aku bayangkan. Bahkan Aku sudah keok di rintangan lurus. Aku melihat sekeliling. Benar-benar jadi tontonan gratis. Orang-orang ramai-ramai bersorak dan memberi komentar-komentar tak berpendidikan. Ketika ada peserta lain yang menabrak VLC di track lurus dan menindasnya sehingga ngesot-ngesot tak karuan, penonton malah tepuk tangan sekeras-kerasnya sambil tertawa-tawa. Unik sekali orang-orang negeri ini. Jiwa psikopatriat Mereka terselubung oleh peradaban. Well, Aku rasa peserta yang ngesot itu menyesal tidak membaca ayat kursi tiga kali di track lurus.

Tak kusangka Aku tak pernah bisa menaklukkan rintangan ujian praktik. Bahkan Aku lima kali gagal. Mengerikan sekali. Akhirnya Polisi-Polisi itu berbaik hati dengan meluluskanku secara belas kasihan. Aku disuruh ke ruang kaca berpapankan "Ruang Pengaduan SIM". Di dalam sini, Polisi-Polisi itu mengolah data berkas-berkas pemohon SIM.

"Kamu tak bantu ujian praktiknya, isi seikhlasnya itu," Polisi berambut botak berkacamata itu menunjuk kotak kaca kecil di sudut ruangan. Aku mengisinya dengan selembar uang lima ribu rupiah. Memang janggal rasanya ada kotak infaq untuk masjid di tempat yang jarang dilalui masyarakat umum seperti ini.

Aku akhirnya memiliki SIM saat itu. Tapi proses yang panjang untuk membuat SIM itu patut Aku syukuri juga. Aku mendapatkan banyak pengetahuan dari pengalaman yang tidak pendek itu. Aku jadi tahu jika mau nyalo, jangan ke orang-orang yang berkeliaran di sekitar polres, tapi langsung ke polisinya. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Polisi-Polisi itu menerima uang untuk proses yang tidak halal itu. Segalanya jadi mudah dengan calo. Tapi bercalolah pada yang benar-benar memudahkan.

Negeri ini dikelilingi keanehan tiada banding.
*geleng-geleng*