Jaras Nan Melingkar

Ibarat pukat, hidupku melingkar-lingkar mengitari dirinya sendiri. Dendam kesumat melawan patah arang tak kunjung lekang. Aku masih tegar menimba takzim dari segala apa yang menaungiku. Seumur hidup, target akademikku tak pernah melencong barang sekali dari apa yang kucanangkan sebagai target. Aku selalu saja memenuhi ekspektasi diriku sendiri akan institusi pendidikan mana yang akan mengeramiku dalam balutan ilmu. Institut Seni Indonesia, yang kuimpikan sejak sekitar dua puluh empat purnama, telah mencapai klimaksnya. Aku berhasil menggenggam secarik kertas berstempel ISI Yogyakarta sebagai bukti daftar ulang. Universitas seni tertua, terbesar, dan terbaik di Indonesia versi wikipedia itu telah menjadi de javu yang membuat si patah arang geram.

Kehidupan cintaku yang memilukan tak lantas membingkas nyaliku. Tak membuatku lari tunggang langgang ibarat cerpelai dibentak kawanan srigala. Hidupku memanglah centang perenang, tiada bergemerlap. Aku bukan penulis novel ko ping ho atau roman Siti Nurbaya, bukan jua anak pejabat atau direktur pabrik gula. Namun bukan berarti Aku anak kelasi perahu pembawa kopra atau petani terasi. Aku benar-benar seorang Remaja Jelata yang terbenam dalam hingar bingar rayuan nyanyi dangdut. Aku hanya sebutir dari setoples garam yang asin rasanya. Hanya bagian super kecil alam semesta yang jika Kau mau melihatku haruslah menggunakan mikroskop.

Bapakku akan pergi haji!
Tentu itu berita nun menentramkan ibarat butir embun di pagi buta. Tak kusangkal Aku mensyukuri. Meski Aku tak menghajikan Bapakku.



Aku tak menitip salam pada hajjar aswad yang mungkin berhasil diciuminya berebutan, atau makam nabi yang belakangan menjadi tempat orang-orang musyrik Indonesia yang terbiasa meminta-minta di pusara wali. Tak kapok meski dihardik syirik! oleh petugas.

Bukan, bukan. Aku tak perduli dengan orang-orang Indonesia yang bebal terkepompong syirik. Aku hanya berharap, suatu nanti Bapakku menemukan jati dirinya kembali sebagai seorang Bapak. Bapak yang nan gagah perwira. Semoga Tuhan telah mempersiapkan meringkas dunia untuk dibenamkan pada Jiwa Bapakku.

Seumur hidup, Bapakku hanya sekali menghardikku. Ketika itu, Aku membanting-banting ember karena kesal tak dibelikan es ting-ting yang lewat saban jam dua sore.

Waktu Aku belum sepinggang tingginya, Bapakku mengajakku ke tempat-tempat yang Aku minta, time zone, monkasel, atau kebun binatang. Ia segan melukai hatiku.

Ketika Aku merengek dibelikan ketapel sungguhan, yang liat karetnya dengan kayu pohon cherry, maka esoknya Bapakku keliling kota mencarinya. Meski sampai dicurigai Polisi untuk apa orang berpedidikan seperti Bapakku membeli ketapel. Maklum, saat itu sedang marak-maraknya demo yang tak bertanggung jawab. Oleh mahasiswa-mahasiswa terasi yang IP-nya tak sampai 2,0.

Harmonika, alat musik pertama yang dibelikan Bapakku. Dua hari setelah Aku memintanya. Merk suzuki warna perak nan berkilat-kilat. Meski sumbang, Aku memainkannya dengan girang yang tak terbayangkan.

Bapakku adalah role model yang amat kugemari. Saat kecil, Ia ternistakan oleh Bapakknya yang kawin lagi, dalam himpitan ekonomi yang serba sembelit. Namun tak kisut semangat, Bapakku menembus ilalang-ilalang tajam nan menusuk-menusuk, melewati kerasnya hidup bersama lima adik kandungnya yang tersia-sia. Hingga telah menyelesaikan studi master S2-nya dengan semulus kulit ratu.

Getir.
Aku tercekat dalam situasi yang senada. Meski berlawanan secara moral. Ibuku meninggal ketika Aku sebelas bulan. Masih cenger. belum tahu jika madona itu menggairahkan. Belum juga tahu rezim apa yang sedang berkuasa. Dan Bapakku, kawin lagi untuk mengisi masa dudanya yang hampa. Namun malang tak dapat ditentang, Ibu baru itu terlalu ranum dan belum matang.

Hingga Aku harus terpekur berzikir setiap senja, agar wanita itu diampuni.

Minggat dua tahun yang lalu, seperti langkah yang terpinjam dari semesta. Langkah terbaik yang pernah kuambil. Buktinya, Aku lebih tenang hidup tanpa jeruji fiktif yang sekuat tenaga, mati-matian dipertahankan Ibu tiriku. Aku tidak bicara diktatorisasi.

Namun tentang betapa diri sendiri merupakan sebuah aral terberat.