Aku Benci...

Aku benci jika memiliki sesuatu yang hebat, suatu hasil perjuangan yang sarat dahaga dan kesabaran, tetapi Aku harus merahasiakannya dan Aku harus terkepompong rasa pongah yang tertahankan di ulu hati. Menyesak rasanya melihat langit dan berkali-kali mencoba untuk bangkit. Meski Aku punya kucing yang dengan kesetiaan tak tertandingkan mendengarkan curhatku tanpa menyela dan tanpa memberi nasihat. Kucingku, Hai Wo, adalah psikiater sekaligus sahabat terbaik yang pernah Aku ajak tidur bersama.

Untuk menahan batu di sebuah area hati, Aku hanya bisa menggurat-gurat diatas prasasti ambiguitas-ambiguitas yang terbagi menjadi lima rencong bermata dua dengan gagang yang tajam. Aku berkutat pada sebuah kesedihan yang serupa ular mengejar ekornya sendiri.



Aku benci masih memiliki satu orang tua tapi tabiat membisunya kadang melampaui batas. Menganggapku sebagai anak kecil yang tak pernah dewasa dan tak acuh ketika Aku bicara tentang kebebasan yang sangat ramah padaku. Aku seperti pelanduk yang dibentak kawanan srigala. Tak tahu bagaimana menyikapi perasaan yang membelenggu sedemikian secara bijaksana. Labil. Kata orang. Tapi Aku tak setuju. Karena jiwaku memiliki stabilizer yang terbuat dari kesabaran dan pengalaman menghadapi prahara yang tidak semua orang seusiaku mengalaminya. Aku lebih hebat dari pada kalian semua. Sekarang Aku dapat meneriakkannya dalam sebuah ruang isolasi di beberapa kandang yang tidak terhormat di pojok-pojok kenistaan hatiku.

Aku terus memasung diriku sendiri pada semua etimologi keajaiban yang sama sekali tidak pernah rasional.

Rokok, kadang kala menjadi sebuah jawaban yang membius dan membutakan. Ia memanjakan dengan segala lubuk inspirasi yang mengalr deras tiap endormofin yang menderas setiap kali menghisapnya masuk ke cabang-cabang bronkis dan dalam sekejap menumbalkan paru-paru sebagai korban. Sadisme yang rumit.

Aku benci memasuki fase pancaroba dimana Aku harus terserang sebersit ragu kepada kuasa Tuhan yang sangat sombong. Meski Tuhan memang satu-satunya yang punya kapasitas untung sombong. Aku benci karena harus menjadi manusia yang percaya pada sebuah rasionalitas yang kelihatan oleh panca indra. Meski kadang imajinasi datang bak malaikat penolong berwujud absurd. Aku benci meninggalkan segala kekanak-kanakan dalam diriku seiring tumbuh usiaku, bercabang-cabang jadi jumawa, jadi durjana. Selalu begitu.

Aku benci kereta api dan derunya periodik. Karena menyisakan deru yang berasap-asap di hati. Sebuah traumatik yang yang tak terjelaskan oleh diksi. Karena kata-kata, telah dijajah makna. Manusia mulai meninggalkan puisi dan beralih pada kapitalisme film-film hollywood. Televisi, lebih mementingkan jingle sari roti dari ponsel Nazarudin daripada terus menggencarkan informasi tentang ketidakadilan kepada TKI yang beritanya secepat angin lalu, terhempas tanpa suara. Bisu.

Getir.  Aku benci ketika Aku harus memikirkan betapa Aku mau tahu apa tujuan hidup yang sebenarnya. Apa seperti kata pak tua Phytagoras yaitu truth seeking (pencarian kebenaran) ataukah mencintai seseorang dengan resiko hilang 38% lebih besar? Aku benar-benar seperti kapal pesiar yang layarnya telah bolong enam kali oleh cucuk burung jalak meski dengan lambung terstabil di seluruh jagad samdura.

Aku benci.. Aku benci..
Aku benci harus mencintainya tanpa syarat dan selamanya. Lebih dari Aku mencintai segala yang Aku miliki.