Perihal Jarak

Ilustration from Advice for Life


Langit-langit adalah langit baruku. Kota ini mengurungku seperti makhluk asing. Aku membaca tumpukan buku. Tapi aku gagal membaca diriku sendiri. Setiap kali aku bercermin, rambut sutramu menjuntai menutupi bahuku. Seperti pelukan-pelukan yang diterkam jarak. Katamu, bahuku lembah surga yang terjatuh ketika batu-batu langit menghantam bumi dan memusnahkan dinosaurus. Katamu, kamu nyaman bersandar di bahuku. "Aku ingin membuat rumah di bahumu," suara itu mengalun dari bibir kecilmu. Matamu terpejam, seperti ombak yang salah mengira musim apa yang telah datang.

Tanpamu, kota ini seperti lelehan besi yang membangun dirinya sendiri menjadi terali besi. Aku membenci jarak lebih dari rasa benciku terhadap diriku sendiri. Meski jarak tak membuatku lupa cinta ini untuk siapa dan dari mana ia tiba.

Aku takut suara masaiku tak dapat lagi memelukmu dari jauh. Aku takut benda-benda yang kusentuh berubah menjadi bayanganmu dan menyiksa seluruh tubuhku yang hanya milikmu. Tubuh ini merindukan disentuh oleh pemiliknya. Sedangkan bayangan wajahmu tenggelam pada serenade gerbong kereta, bertalun-talun, membawamu membelah pulau ini.

Aku tak punya cukup tenaga untuk menganalisa, jarak terbuat dari apa? Karena ruang dan waktu tak menumbuhkan bunga-bunga, jarak membunuhnya. Pada lekuk namamu lah bermekaran bunga-bunga, harapan dan keajaiban adalah kelopaknya. Meski takdir seperti labirin rahasia yang menyembunyikan makna.

Cinta ini telanjang dan butuh kecupanmu. Biar berkobar nyala api-api yang dengan ganas panas membakar rasa menyerah. Aku ingin menembus jalan di selubung api, dan mandi pada sebuah nyala yang lebih membara.

Sejak dalam kandungan, aku paham hidup di luar perut ibu tidaklah mudah. Dan jarak ini adalah kandungan kedua. Aku ingin terlahir kembali sebagai seseorang yang pertama kali kau lihat ketika matamu terbuka sebagai ombak yang telah mempelajari datangny musim-musim.

Yogyakarta,
17 Mei 2017

Comments