Tentang 3 Buah Puisi dan Cerita di Baliknya

Cover buku antologi "Mati Hari - Bukan Kawanku!"

3 Judul puisiku yang tercantum

Berfoto dengan para penulis yang puisinya tergabung dalam antologi ini
Dalam beberapa tahun terakhir, aku terlalu sibuk berbisnis. Sampai-sampai melupakan taman bermain yang aku sukai : puisi. Tahun ini, aku bersyukur diberi ruang oleh Divisi Sastra FKY 28 untuk kembali bermain-main dengan puisi. Dalam antologi ini, ter-rampai puisi-puisi dari 20 penulis puisi muda (di bawah 27 tahun) dan dibekali materi oleh penulis puisi kawakan, Joko Pinurbo, dan veteran Teater garasi yang karya-karya tulisnya juga banyak mendapat penghargaan, Gunawan Maryanto. Ia nyempil di foto ketiga. fotonya dijepret oleh mas-mas angkringan tekoo jl. bumijo yang dalam sehari bisa bikin seratus gelas es teh.

Di dalam antologi ini juga terdapat salah satu nama penulis yang bagiku tak asing, Mbak Anisa Hertami, aktris film Soegija yang dari film itu mendapat banyak penghargaan. Sayangnya buku ini hanya dicetak terbatas. Harapanku sih ya dicetak lagi, biar banyak yang baca. hehe...

Proyek ini sebetulnya medium pemanasanku untuk kembali ke dalam dunia penulisan, dan mungkin film. Yang aku telah lama tak berkarya dan perlu bekerja supaya tak karatan.

Berikut ku lampirkan 3 puisiku berikut cerita di baliknya.

1

BAPAKKU MENUA PADA SEPUCUK SORE

Kerut matanya seperti sungai tempat aku mengambil bola plastik yang mengapung pada sore maghrib
Pelukan canggungnya tempat aku lemah dan mimisan ketika sakit-sakitan
Uban di rambutnya tempat aku memeluk anak kecil di dalam diriku
Punggungnya semakin bungkuk tempat perosotan dan taman bermain abadi dalam sebuah gendongan

Gigi depannya tanggal, tempat keluar nasihat-nasihat bijak bergeming bergema berkelindan
Sedikit botak di kepalanya, tempat namaku lahir dan menyala api makna
Bercak-bercak lahir di pipinya, tempat kecupan-kecupan  kecil yang tak pernah terjadi dari anaknya

Ajari aku asal-usul kata-kata, pak
Karena waktu berlarian seperti sekumpulan kuda mengejar pagi
Dan aku terjebak dalam tarian tanpa arti

Yogyakarta, 2016

------------ 
Di dalam puisi pertama, aku betul-betul terilhami dari sebuah pertemuan pertama dengan bapak setelah sekian tahun tak bertemu. Pertemuan itu pernah aku tulis dalam sebuah posting blogku sebelumnya berjudul agak sama. Bisa dicek di sini http://www.dipautomo.com/2016/09/bapakku-menua-diantara-sepucuk-sore.html 
-------------

2


TAHUN-TAHUN YANG TERKOYAK

Barangkali takdirku seperti sepucuk daun
Ketika lelah, tanggal dari tempat tinggalnya
Jika badai datang, terkoyak-koyak tubuhnya

Malam masih panjang
Lampu-lampu jalan masih benderang
Sepi masih saja berpura-pura baik
Seperti germo menawarkan wanita jalang

Maafkan waktu-waktu yang terbuang
Wajah-wajah tlah menjadi asing,
Atau akulah sang wajah asing?

Yogyakarta, 2016

--------------
Di dalam puisi kedua, aku menuangkan tentang krisis identitas yang ku alami. Puisi ini aku tulis ketika pikiran-pikiran bahwa aku memang tidak berguna melilit kepalaku seperti piton yang lapar. Aku  memasuki tahun keenam ku di kampus, usiaku menjelang seperempat abad, tetapi belum ada masterpiece yang aku bikin. Apa yang aku capai itu belum apa-apa, sedangkan banyak orang-orang hebat yang aku kenal telah mencapai banyak hal dalam beberapa tahun.
--------------


 3


PEREMPUAN YANG MEMBUKA JENDELA

Ketika kau membuka jendela di pagi hari,
Kau melihat masa depan atau masa lalu?
Atau refleksi wajahmu yang masih mencintaiku?

Di sabtu malam aku pergi ke bar sendirian
Duduk di pojokan, mendengar orang-orang
Membicarakan tentang kelamin dan negara
Dua hal yang tak lagi kutahu apa bedanya

Jika kau bertanya kepadaku tentang pertempuran apa yang paling berbahaya di muka bumi,
Aku akan menjawab kenangan, cerita di baliknya, dan perubahan-perubahan yang mengikutinya.

Yogyakarta, 2016

-----------------------

Berikut adalah kisah-kisah yang mesti kuceritakan, supaya lurus dan lega hatiku. Terima kasih bagi yang sudah membuang-buang waktu membaca sampai ke alinea ini. Sulit bagi ku konsisten menulis. Karena sebagai pengusaha, aku harus bangun pagi. Sebagai penulis, aku harus kesiangan. Ingin rasanya membelah diri.

Proyek kecil ini semoga menjadi awal bagiku untuk terus bermain-main di medium ini. 

Kata Gunawan Maryanto dalam kata pengantarnya di buku ini :
"Para peserta muda ini adalah calon-calon penyair masa depan --- jika pun tidak, sebab majal di tengah jalan, semoga mereka bisa menjadi pecinta puisi yang baik,"

Amin.

Comments