Bapakku Menua Bersama Sepucuk Sore

Di dalam lift yang bergerak turun menuju lobby hotel, aku merasa campur-baur. Entah rindu, rasa bersalah, atau pemberontakan. Aku baru menyadari bahwa Einstein tidak bercanda soal relativitas waktu. Rasanya lambat sekali lift terkutuk ini. Entah karena aku ingin melarikan diri atau tak siap bercakap.

"Ting," pintu lift terbuka. Dari kejauhan, kulihat Bapak duduk menunggu di tepi jendela lobby hotel. Ketika melihatku, ia beranjak dari tempat duduknya dan menghampiriku. Pelukan canggung dan sepotong apa kabar menjadi hidangan pembuka pertemuan pertama kami setelah bertahun-tahun. 

Bapak mengajakku makan sore di kantin hotel. Ia memesan dua porsi siomay dan teh tarik. 
"Sudah lama di sini? Kenapa milih hotel ini?" tanyanya menyeruput teh tarik hangat dari gelasnya.

"Di sini harganya terjangkau tapi pelayanannya bagus," Jawabku. Hening sesaat. Matahari sore pelan-pelan memerah merekah-rekah dari jendela kaca yang tak jauh dari kami.

"Aku putus dengan kekasihku," tambahku. Bapak yang sedang menyeruput teh tariknya sedikit kaget. Ia manggut-manggut. 

"Kok bisa? Kan kalian sudah lama bersama?"

"Iya, hampir empat tahun,"

"Tidak apa-apa. Kalau memang bukan jodohnya. Serahkan semua kepada Tuhan,"

Aku sedikit melengos. Bapak sudah tahu tentang bagaimana kepercayaanku terhadap Tuhan. Barangkali kebiasaannya saja ia membawa-bawanya dalam percakapan. Ia seorang novelis dan dosen, 

"Lantas usahamu bagaimana?" 

"Dibagi dua," jawabku pendek sebelum pegawai hotel mengantarkan siomay pesanan kami.

"Kamu sudah nggak merokok?"

"Masih. Cuma di hotel ini kalau merokok di dalam kena denda 500 ribu. Smoking areanya sangat kecil,"

Aku masih ingat beberapa tahun lalu, kami berdua pernah merokok bersama. Yang membuat aku kaget adalah, saat itu kami berdua sama-sama mengeluarkan sekotak marlboro merah. Aku tak pernah melihat bapak merokok. Kami tak sedekat itu.

"Sekarang itu yang penting kuliahmu diselesaikan, apapun yang terjadi, bukannya ini sudah tahun keenam-mu di kampus? Nggak kena DO?"

"Ya, tentu. Kuliahku pasti aku selesaikan. Tapi tak sekarang. Masih banyak yang harus aku urus. Nggak, pak, aturan lima tahun drop out hanya berlaku untuk angkata-angkatan baru,"

Matanya, meski sudah berkerut, tapi tetap teduh. Ia selalu tenang menghadapi masalah-masalah besar. Walaupun kadang aku bertanya-tanya, ketenangannya itu sifat bawaan atau karena ia tak peduli.

"Kamu seminar apa di Surabaya ini?"

"Workshop Ekspor,"

"Walah, ketinggian itu. Kuliahmu dulu diselesaikan,"

"Ya enak yang begini, ikut workshop, ilmunya langsung berguna,"

"Ya sementara. Lihat itu profesor-profesor, tinggal diam di rumah, pengasilannya bisa empat puluh juta sebulan,"

Aku diam saja. Ia tak mengerti, jika usahaku lancar dan berkembang baik, omset usahaku bisa berkalilipat itu. Kadang aku tak mengerti cara berpikirnya yang main aman-aman saja dan tidak menyukai resiko, apalagi konflik. Dibalik cara berpikirnya yang sekular karena latar belakangnya sebagai novelis dan dosen, bapak punya sisi konserfatif dalam dirinya. Ia termasuk golongan orang tua yang menganggap berwirausaha itu buang-buang waktu dan belum tentu berhasil. 

"Bagaimana bu haji dan adek-adek?" tanyaku. 

"Ya begitu. Si Bebi itu mirip sekali dengan kakakmu. Raihan itu persis sama kamu, dari caranya bicara, menolak, marah," ia tak bisa menyembunyikan sesungging senyum tipis di bibirnya.

"Kamu itu coba pulang, minta maaf, biar semuanya enak" 

"Minta maaf?" tak sudi, pikirku. "Aku bingung bagaimana bu haji bisa hidup seperti itu. Apakah tidak ada sama sekali rasa bersalah kepadaku dan kakak?"

Ia diam sejenak, mencoba mencerna jawabannya sendiri. "Ya pasti ada. Mungkin tak ditampakkan saja,"

Aku mendengus. Lucu nian. Aku 100% yakin, istri bapakku yang merasa paling suci di atas muka bumi ini menuntut bapak untuk mendesakku meminta maaf. Enak sekali hidupnya. Bisanya menyalahkan anak kecil. 16 tahun lalu, ketika si ratu jahat itu menikahi bapakku, usiaku masih 7 tahun. Aku dipukul pun tak bisa melawan. Tapi sekarang perkara lain. Aku akan mempertahankan harga diriku sampai mati. Aku akan memperjuangkan kebenaran. 

"Aku masih menganggap diam lebih emas daripada cari masalah lagi. Segalanya lebih baik seperti ini. Tak ada yang lebih menakjubkan daripada tujuh tahun tanpa melihat wajah sombongnya yang dungu. Dan ya, tentu saja, orang rasis itu akan selalu menganggapku hina karena aku hanya setengah jawa," Semakin dewasa, aku semakin menyadari betapa rendahnya cara berpikir wanita yang dinikahi bapakku itu. Ia selalu menganggap orang luar jawa lebih rendah daripada orang jawa. Kemudian membangga-banggakan bahwa ia ningrat keturunan kerajaan singosari. Ah, pasti kau keturunan ken arok atau raja-raja terkutuk tirani lainnya. 

"Ya sudah beda. Teman-temannya ya banyak yang dari luar jawa, dan berteman baik,"

Aku ingin terbahak dalam hati. Hipokrit itu barangkali cuci tangan menggunakan sabun setiap salaman dengan orang luar jawa. Selepas ia pulang haji, makin menjadi-jadi sikap merasa paling sucinya. Gila-gilaan. Semakin tak sudi aku minta maaf. 

Caranya memperlakukanku  merusak seluruh hidupku dan kakakku. Aku harus membangun pondasi dari 0. Aku beruntung tak pernah menelan utuh omong kosongnya. 

Sebagian diriku sebenarnya ingin memberontak. Apa salahnya menjadi bermuka dua jika untuk kebaikan. Lihat wajah bapak. Ia dalam posisi yang serba terjepit. Padahal mimpinya sederhana. Melihat keluarganya berdamai sebelum kematian yang damai menjemputnya.

Kemudian, kubu lain di dalam diriku memberangus pikiran konyol semacam itu. Jika ada yang harus minta maaf, percayalah, aku tak memerlukan pledoi macam-macam. Aku tak butuh permintaan maaf, aku hanya butuh sedikit rasa bersalah di hatinya.

Entahlah. Perbincangan singkat sore itu membawaku pada pikiran-pikiran konyol yang agak mengganggu. 

Comments